Wasiat Terakhir KH. Abdul Wahab Chasbullah tentang NU sebelum Wafat

 
Wasiat Terakhir KH. Abdul Wahab Chasbullah tentang NU sebelum Wafat
Sumber Gambar: CirebonTimes.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Abdullah Taruna, salah satu santri Tambak Beras Jombang bercerita, waktu itu suasana ruang Kelas II SMA Bahrul Ulum Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang hari itu, pada tahun 1992 pelahan-lahan menjadi hening ketika kata demi kata Gus Irfan merangkai kalimat demi kalimat kisah tentang hari terakhir KH. Abdul Wahab Chasbullah.

Saya melipat kedua lengan saya di atas meja kayu di ruang kelas itu. Hampir semua teman-teman saya juga melakukan hal yang sama. Kami benar-benar ingin menyimak kalimat-kalimat kisah wasiat di hari berpulangnya Mbah Wahab ke rohmatullah yang disampaikan guru agama saya, Gus Irfan (KH. Irfan) bin KH. Soleh bin KH. Abdul Hamid bin KH. Hasbullah bin KH. Said. Jadi Mbah Wahab adalah kakek, karena Kyai Soleh merupakan anak dari KH. Abdul Hamid yang merupakan adik kandung Mbah Wahab.

Saya menatap Gus Irfan yang duduk di kursi paling depan sebelah barat dan menghadap ke selatan, ke arah kami para muridnya. Gus Irfan berkisah dengan sangat khusuk.

“Tiga jam sebelum wafat, Mbah Wahab meminta seluruh anak, keponakan, dan sanak kerabat berkumpul. Ada KH. Najib Wahab, Nyai Munjidah, Gus Hasib dll (anak); KH. Abdul Fattah Hasyim (Mertua KH. M.A. Sahal Mahfudz) hadir, Kyai Soleh (keponakan), Gus Irfan sendiri (cucu), juga semua duduk bersimpuh mengelilingi Mbah Wahab,” kata Gus Irfan.

Dalam tradisi Jawa, kerabat mendapat panggilan untuk datang ke tempat orang sedang sakit statusnya bersifat siaga 1. Jadi harus buru-buru. Kondisi itu dikenal dengan istilah “Oleh susulan” (mendapat panggilan untuk segera datang berkumpul bersama sanak kerabat di tempat anggota keluarga yang sedang sakit keras atau kritis).

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN