Sebuah Refleksi Harlah NU ke-93, Dilema Politik Kaum Sarungan
LADUNI.id - Duet Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019 menunjukkan, dalam arena politik praktis, yang dikedepankan adalah logika kekuatan, bukan kekuatan logika. Dalam perhitungan politik, dipilihnya KH Ma'ruf Amin menjadi cawapres Jokowi di antaranya merupakan langkah pengamanan Koalisi Indonesia Kerja (KIK).
Tidak ada yang bisa menjamin keutuhan KIK jika Jokowi memilih Mahfud MD, Muhaimin Iskandar, atau Romahurmuziy. Hanya Kiai Ma'ruf Amin yang bisa diterima oleh faksi-faksi dalam koalisi tersebut lantaran senioritas dan posisi Kiai Ma'ruf Amin yang merupakan sesepuh di Nahdlatul Ulama (NU) dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Langkah itu diambil Jokowi juga bisa digunakan untuk menangkal isu anti Islam dan ulama yang selama ini disematkan padanya. Tidak ada yang bisa menyangkal keulamaan Kiai Ma'ruf Amin. Dan benar, langkah tersebut dinilai efektif untuk mengkonsolidasikan para eksponen NU, baik struktural maupun kultural, hingga saat ini.
Bagi kalangan politisi NU sebagai bagian kaum Islam tradisionalis, pilihan itu merupakan langkah konsolidatif internal untuk menghadapi gerakan populisme Islam yang semakin gencar di Tanah Air sejak era Reformasi, yang sejak awal rupanya lebih mesra dengan kubu Prabowo Subianto.
Memang, politik kekuasaan merupakan proses yang dinamis dan penuh dengan ketidakpastian. Namun, dipilihnya KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi merupakan pertunjukan politik yang cukup mengejutkan bagi sementara kalangan, termasuk bagi sebagian warga NU sendiri. Kiai Ma'ruf Amin adalah Rais Am PBNU.
Memuat Komentar ...