Lembaga Pendidikan Keagamaan di Aceh yang Didirikan Sejak Zaman Kesultanan Peureulak

 
Lembaga Pendidikan Keagamaan di Aceh yang Didirikan Sejak Zaman Kesultanan Peureulak

Dayah di Aceh merupakan sebutan untuk lembaga pendidikan semacam pesantren di Jawa atau surau di Padang. Secara bahasa, kata dayah diserap dari bahasa Arab zawiya yang berarti ‘sudut’, mengacu pada tempat-tempat di sudut masjid Madinah sebagai pusat pendidikan dan dakwah Islam pada masa Nabi Muhammad saw. Kehadiran dayah sebagai lembaga pendidikan Islam dan pengkaderan ulama di Indonesia diperkirakan setua hadirnya Islam di Nusantara.

Sejarah

Sejarah tumbuhnya dayah di Aceh erat kaitannya dengan perjalanan dakwah Islam di daerah tersebut. Tome Pires mencatat bahwa pada sekitar abad ke-14 di Samudra Pasei telah terdapat kota-kota besar yang di dalamnya terdapat pula orang-orang yang berpendidikan. Hal ini diperkuat oleh Ibnu Batutah yang menyebutkan bahwa pada saat itu Pasei sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara dan di sini banyak berkumpul ulama-ulama dari negeri-negeri Islam. Ibnu Batutah juga menyebutkan bahwa Sultan Malikul Zahir (1297-1326) adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Ketika hari Jumat tiba, Sultan melaksanakan salat di Mesjid dengan mengenakan pakaian ulama dan setelah itu mengadakan diskusi dengan para ulama. Ulama-ulama terkenal pada waktu itu antara lain Amir Abdullah dari Delhi, Kadhi Amir Said dari Shiraz, Tajuddin dari Isfahan. Teungku Cot Mamplam dan Teungku Cot Geureudong.

Perkumpulan (halaqah) semacam itu, yang dilakukan di sudut-sudut bagian masjid untuk menyampaikan ajaran Islam atau mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan ajaran Islam lazim disebut zawiyah. Dari zawiyahzawiyah semacam itu muncul lembaga pendidikan di Aceh yang dinamakan Dayah. Melalui lembaga ini Islam mengakar kuat di Aceh.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN