Tahun 1930-1940 M: Jejak Arab Hadrami dalam Persepakbolaan Indonesia

 
Tahun 1930-1940 M: Jejak Arab Hadrami dalam Persepakbolaan Indonesia
Sumber Gambar: Laduni.id

Laduni.ID, Jakarta - Pada 25 Maret 2015, Abdul Hakim Munabari, warga Kelurahan Kasin, Malang, disergap oleh Densus 88 karena diduga terlibat dalam jaringan ISIS.

Semasa kanak-kanak hingga remaja, Hakim aktif bermain sepak bola di klub Al-Badar, sebuah perkumpulan sepak bola yang didirikan oleh warga keturunan Arab di Malang. Meskipun demikian, seperti halnya klub Asy-Syabab di Surabaya, anggota tim tidak hanya berasal dari etnis Arab.

Menariknya, terlepas dari status Hakim sebagai tersangka dalam jaringan terorisme, keterlibatan etnis Arab dalam sepak bola, seperti yang ditunjukkan oleh Hakim, patut dicermati, serupa dengan rasa penasaran terhadap peran kaum Tionghoa dalam persepakbolaan Indonesia.

Pada masa kolonial, kaum Arab, Tionghoa, dan India menempati kasta kedua setelah kaum Eropa. Mereka ditempatkan dalam perkampungan khusus berdasarkan etnis, yaitu Kampung Arab, Pecinan, dan Pekojan (berasal dari kata Khauja atau maulana, yang berarti tuan).

Perkampungan mereka dipisahkan dan diberi jarak agar tidak terjadi pembauran dengan kaum pribumi.

Untuk pengawasan dan kontrol sosial, setiap kampung memiliki pemimpinnya masing-masing, yang diberi pangkat militer tituler oleh pemerintah kolonial, seperti Kapiten atau Liutnenan.

Di Surabaya, jejak ini masih dapat dilihat dalam tata kota klasik, yaitu Kampung Arab di Kawasan Ampel dan Pecinan Kembang Jepun (Kya-Kya).

Kedua perkampungan ini berdekatan, sementara Sungai Kalimas dengan Jembatan Merahnya yang legendaris memisahkan kampung etnis ini dari hunian kaum Belanda dan struktur administratif kota penyangganya.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN