Tahun 1952-1962 M: NU dan Peran Sentralnya sebagai Penyeimbang Indonesia
Laduni.ID - 7 Agustus 1949, SM. Kartosuwirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesa. Banyak faktor yang membuat dirinya memutuskan aksi tersebut, antara lain, karena beberapa perjanjian yang merugikan republik, seperti Linggarjati dan Renville.
Pemerintah dianggap tidak becus dan menghianati rakyat. Kelak, aksinya mendapatkan dukungan dari para panglima lokal yang kecewa dengan Bung Karno, Daud Beureueh di Aceh, Amir Fatah di Jawa Tengah dan Kahar Muzakkar di Makassar.
DI/TII berusaha mendapatkan dukungan Masyumi, termasuk NU yang masih bergabung dalam partai politik Islam ini. Semua kyai NU maupun ormas yang sealiran dengan NU menolak DI/TII dan menganggapnya sebagai tindakan bughat atau berontak yang dilarang Islam.
Tak mau kalah, beberapa serdadu DI/TII melakukan aksi sepihak dengan cara sabotase dukungan ulama. KH. Yusuf Tauziri korbannya, ulama kharismatik dari Garut yang juga pemimpin Hizbullah, diminta bergabung. Dengan tegas beliau menolak.
Gerilyawan DI/TII memberondong pesantren miliknya, total ada 17 kali gempuran yang mengakibatkan kerusakan berat. Beberapa santri gugur sebagai syahid. Pesantren Darussalam, Cipari, kemudian dipindahkan ke Wanaraja, tak jauh dari lokasi awal, pada 1952.
Ironisnya, Kartosuwiryo dulu sempat mengaji kepada Kyai Yusuf, dan menjadi penasehat spiritualnya di Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Tapi, perbedaan sudut pandang membuat sang murid gelap mata.
Memuat Komentar ...