Fiqih Puasa dan Ijtihad Kontemporer
LADUNI.ID -Di antara syarat sahnya puasa adalah suci dari haidh dan nifas bagi perempuan. Penetapan hukum mengenai haidh ini jelas didasarkan pada hadis yang bersumber dari Aisyah. Ia mengatakan, ketika kami haidh tidak puasa. Rasulullah SAW perintahkan kami mengganti puasa dan tidak memerintahkan mengganti shalat. (HR. Nasai).
Lalu apa dalilnya tentang perempuan nifas tidak boleh puasa?
Tidak ada ayat al-Qur'an dan hadis yang menegaskan hal ini. Dalilnya adalah Qiyas atau analogi yang disamakan hukumnya dengan perempuan haidh. Ketetapan hukum ini juga ijma' (sepakat) para ulama. Qiyas dan Ijma' ini merupakan bagian dari Ijtihad.
Demikian juga persoalan perempuan hamil dan perempuan yang menyusui bayi. Apa dalilnya bahwa mereka boleh tidak puasa? Kalau tidak puasa, apakah mengganti puasanya dengan berpuasa pada hari-hari lainnya, atau membayar fidyah saja?
Kalau mencari ayat al-Qur'an dan hadis untuk menjawab masalah tersebut secara tegas, pasti tidak akan ketemu.
Cara menjawabnya adalah dengan menggunakan ijtihad.
Perempuan hamil dan perempuan yang sedang menyusui bayi boleh tidak puasa tapi wajib menggantinya dengan puasa, kalau dikiyaskan atau analogi disamakan hukumnya dengan orang sakit, sebagaimana firman Allah: "Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan ( lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 184).
Memuat Komentar ...