Memahami Kediaman
LADUNI.ID, Jakarta - “Pahamilah aku! Kamu tak pernah bisa memahamiku,” katamu suatu ketika.
Aku kaget mendengar kata itu. Untuk beberapa saat aku diam tak menanggapi karena tahu harus berkata apa. Kamu diam. Menunggu aku bicara. Setelah berapa lama diam, terpaksa aku bersuara.
“Perlu kamu ketahui,” aku mulai bicara, “kata memahami begitu menakutkan bagiku. Jangankan melakukannya, membayangkannya pun aku tak pernah. Bukan sekadar tak bisa, tapi tak mungkin bisa. Jangankan memahamimu, sudah kukatakan bahwa tentang diriku, keberadaanku, mengapa aku begini, bukan begitu, sampai saat ini aku tak paham. Juga tentang kenapa aku mencintaimu sampai saat ini aku tak memahaminya. Jangan-jangan aku mencintaimu karena memang aku tak memahami.”
Kamu diam.
“Baiklah kalau kamu kurang memahami apa yang kukatakan tadi, aku akan menceritakan riwayatku tentang memahami. Begini, saat aku berada di ruang kelas, waktu aku masih sekolah, aku sering tak paham apa yang diterangkan ibu guru. Aku hanya memandangi mimik muka, menyimak intonasi, gerak-gerik tubuhnya, tapi kata-kata yang berhamburan dari mulutnya jelas tak kupahami. Kata-katanya hanya jadi buih percuma. Jangankan memahami kata-kata orang lain, kata-kataku sendiri saja kadang aku tak paham. Aku tak pernah bertanya dan ditanya ibu guru karena bukan sekadar mungkin tapi pasti aku tak kan bisa menjawab. Aku hanya diam saja. Kawan-kawanku tidak akan menertawakan atau mencemoohku karena mereka sudah maklum dengan kebiasaanku. Aksara atau gambar yang ada di papan tulis yang dibikin bu guru terasa asing. Catatan-catatan yang aku bikin juga hanyalah sebatas catatan. Karena jika aku membacanya kembali saat waktu ujian semakin dekat, aku hanyalah membaca tanpa ada yang bisa kupahami. Maka, waktu aku mengisi sosl-soal ujian, sungguh jarang –untuk tidak mengatakan tidak pernah- aku membacanya, karena itu sia-sia. Aku cuma pura-pura membaca soal, bukan memahami.”
Memuat Komentar ...