Munas NU, Momentum Mengingat Nilai Kemanusiaan Gus Dur
LADUNI.ID, Jakarta - Salah satu pembahasan penting dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat ialah posisi Non-Muslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembahasan persoalan tersebut terkait dengan penyebutan kafir kepada mereka oleh kelompok tertentu.
Persoalan tersebut dibahas dalam Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah. Para kiai yang hadir dalam komisi tersebut sepakat bahwa Non-Muslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia bukan kafir, tetapi mereka warga negara (muwathinun). Langkah ini untuk menciptakan kondisi di mana sesama warga negara harus saling menghormati. Penyebutan kafir hanya akan menyakiti suadara sesama bangsa, padahal mereka juga turut berjuang dalam memerdekakan Indonesia.
Dalam beberapa literatur klasik kitab kuning, para kiai memang menyebut jenis-jenis orang kafir, yaitu kafir dzimmi, kafir harbi, kafir mu’ahadah, dan kafir musta’man. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, posisi seluruh masyarakat sama atau setara di hadapan hukum dan konstitusi. Kesetaraan sebagai warga negara ini juga penting dalam menyebut mereka yang non-Muslim. Bukan kafir jenis apapun, mereka adalah warga negara Indonesia.
Lebih dari mewujudkan kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara, NU selalu berusaha menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Berangkat dari nilai ini, Islam juga memiliki nilai-nilai universal. Bahkan nilai-nilai luhur karena penghormatan terhadap kemanusiaan telah dicontohkan sejak lama oleh Nabi Muhammad SAW.
Memuat Komentar ...