NU dan Pembahasan Fikih Negara
LADUNI.ID - Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai pembelaan atau kritik atas keputusan Bahtsul Masail yang dikeluarkan pada perhelatan Munas dan Konbes di Banjar beberapa waktu yang lalu. Tulisan ini ditulis sebagai refleksi atas upaya membangun interkoneksi di antara fikih, yang berada di domain Hukum Islam, dan Negara Bangsa, yang menjadikan hukum Barat sebagai platform.
Sebagaimana kita tahu bahwa pembicaraan tentang fikih selalu bersinggungan dengan kekuasaan, kendatipun yang diperbincangkan adalah mengenai persoalan ibadah. Persinggungan fikih dengan kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari posisi fikih yang memainkan peran sebagai law in action. Meskipun, dalam kenyataannya tidak semua pembahasan fikih masuk ke dalam ranah perundang-undangan, namun keberadaan fikih sebagai law in action, telah menempatkannya sebagai undang-undang yang berlaku secara informal (informal applied law).
Keberadaan fikih sebagai law in action, searah dengan fenomena hukum adat yang di dalam kajian antropologi hukum disebut sebagai spontaneous submission to the law of tradition (ketaatan spontan terhadap hukum tradisi). Dikatakan demikian, karena fatwa-fatwa fikih yang dikeluarkan oleh seorang ulama, biasanya langsung diterapkan oleh mereka yang bertanya.. Ini berbeda dengan Undang-undang yang membutuhkan waktu 30 hari atau diundangkan di dalam Berita Negara untuk dapat dikatakan berlaku.
Akan tetapi, meskipun mempunyai kekuatan berlaku yang bisa dikatakan lebih efektif daripada undang-undang, fikih masih mempunyai banyak kekurangan ketika berhadapan dengan institusi yang bernama Negara. Efektivitas fikih tampaknya hanya berfungsi ketika berbicara tentang ranah ibadah dan moralitas. Namun, ketika perbincangan ditarik lebar hingga ke ranah yang lebih luas, fikih mengalami stagnasi kreativitas.
Memuat Komentar ...