Bukan Kafir, Tapi Tentang Non-Muslim
LADUNI.ID, Jakarta - Hasil Bahtsul Masâil Maudlū’iyah dalam Munas dan Konbes NU 2019 di Banjar Patroman, Jawa Barat, memicu polemik. Dari sekian isu penting, yang paling menyengat publik adalah hasil bahasan di tema “Negara, Kewarganegaraan, Hukum Negara, dan Perdamaian.”
Bagi saya, ini bukan tema baru, tetapi kelanjutan dari visi kebangsaan NU yang telah ditanamkan sejak tahun 1936, 1945, 1953, 1984, dan 1987. Tahun 1936, NU menyebut kawasan Nusantara sebagai Dârus Salâm. Tahun 1945, NU setuju NKRI berdasarkan Pancasila dan kemudian menggalang Resolusi Jihad untuk mempertahankan NKRI dari pendudukan kolonial.
Tahun 1953, NU mengakui keabsahan kepemimpinan Soekarno secara fikih dan menggelarinya dengan julukan Waliyyul Amr ad-Dlarūri bis Syaukah. Tahun 1983-84, NU menegaskan NKRI final bagi perjuangan umat Islam. Tahun 1987, NU memperkenalkan trilogi ukhuwwah: Ukhuwwah Islâmiyah, Ukhuwwah Wathaniyah, Ukhuwwah Basyariyah/Insâniyah.
Produk-produk penting ini perlu saya ingatkan, terutama kepada orang NU, yang mulai gemar menilai NU dengan kaca mata non-NU. Saya mengikuti sejumlah grup WA yang isinya orang NU tetapi menghujat produk Munas/Konbes NU 2019 terkait isu ini.
Saya tidak terlibat di Komisi Bahtsul Masa’il, tetapi di Komisi Rekomendasi sebagai Sekretaris. Namun, saya mengikuti nuansa perdebatan tentang materi penting itu di luar forum. Bahtsul Masâ’il di lingkungan NU, terlebih jika isunya penting, selalu melibatkan perdebatan panas, sampai-sampai pimpinan PBNU (Rais ‘Am, Ketua Umum, Katib ‘Am, dan Sekjen) turun gelanggang.
Memuat Komentar ...