Hindari Negara Berasumsi Agama
Oleh Abdurrahman Wahid
Dalam harian Media Indonesia, Salahuddin Wahid, adik kandung penulis memaparkan pandangannya tentang hubungan antara agama dan negara. Dalam pandangan itu, Salahuddin Wahid menunjuk kepada sebuah posisi yang menurut pandangannya berada “di tengah” antara pandangan sekuler dan pandangan fundamentalistik.[1] Apa yang dipaparkan itu, sepintas lalu memang baik bahkan menggiurkan, karena Salahuddin Wahid berbicara tentang konsep bernegara bagi kepentingan nasional. Tetapi lain kenyataan, dan lain pula praktiknya. Sesuatu yang secara teoritik berada di tengah-tengah persoalan khoirul umar ausathuha (sebaik-baik perkara adalah yang tepat berada di tengah), belum tentu demikian dalam prakteknya. Hal inilah, yang benar-benar harus dipertimbangkan oleh sebuah organisasi dalam mengambil keputusan bukan untuk kepentingan tertentu atau pendapat-pendapat yang sudah dimiliki.
Di dalam melihat sejarah Islam yang panjang di negeri kita, hal ini tampak nyata. Dalam pandangan Dr. Taufik Abdullah, ada empat macam perkembangan Islam yakni model Aceh, model Minang, model Goa, dan model Jawa.[2] Keempat model ini sampai sekarang masih terasa pengaruhnya dalam perkembangan Islam di negeri kita, setelah berabad-abad ia diperkenalkan.
Pada model Aceh, masyarakat Islam berkembang dari daerah perkampungan muslim. Kampung-kampung muslim itu makin lama makin bertambah luas dan bertambah banyak penduduknya, hingga akhirnya membentuk kerajaan-kerajaan. Karena berkembang dari kampung Islam, kerajaannya pun memiliki wajah Islam yang menyeluruh. Dan hal ini tetap dipertahankan hingga zaman modern ini. Maka, terkenalah sebuah pomeo ”Aceh adalah serambi Makkah”.
Memuat Komentar ...