NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini

 
NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini

Oleh ABDURRAHMAN WAHID

LADUNI.ID, Jakarta - Artikel yang ditulis Gus Dur tahun 1984 dan lumayan panjang ini cukup memberikan pemahaman tentang Nahdlatul Ulama (NU) hingga kondisinya yang mutakhir. Siapkan nafas dan waktu luang untuk membacanya. Kalau belum ada waktu bisa disimpan dulu dengan cara membagikan ke berandanya sendiri.

***

Walaupun muncul cukup banyak tulisan tentang Nahdlatul Ulama (NU), namun belum ada tulisan yang secara tuntas menyoroti organisasi sosial-keagamaan ini melalui beberapa pendekatan yang saling berkait. Umumnya tulisan itu hanya menekankan satu atau dua aspek tertentu saja, sehingga seringkali terjebak oleh penonjolan aspek-aspek yang menjadi fokusnya, dan mengecilkan aspek-aspek lain yang sama penting peranannya dalam kehidupan  NU sendiri. Sebuah contoh dapat dikemukakan  di sini, yaitu tulisan Mitsuo Nakamura tentang Muktamar XXVI NU di Semarang 1979. Nakamura mencoba menelusuri sebuah ciri utama NU yang jarang terlihat pada organisasi lain, yaitu hirarki kepemimpinannya yang tidak terbangun vertikal, melainkan horizontal. Dalam acuan seperti itu, pemimpin NU di tingkat nasional harus pandai memanfaatkan pengaruh besar para ulama di tingkat daerah-baik lokal maupun provinsi apabila ingin bertahan dalam kepemimpinan mereka.

Pemanfaatan seperti itu dilakukan oleh KH. Idham Chalid, ketua PBNU waktu itu yang mampu mengidentifikasikan dirinya sebagai pemimpin nasional yang tunduk kepada kekuasaan ulama daerah yang datang ke muktamar tersebut. Misalnya saja, menurut Nakamura, Idham Chalid menerima kritik-ritik tajam yang ditujukan kepada pengurus besar yang dipimpinnya. Dengan meminta maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang ada pada periode kepemimpinannya, ia mengajak seluruh peserta muktamar untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam periode kepemimpinan berikutnya. Kebalikan sikap itu justru diperlihatkan oleh saingannya yang terkuat, KH. A. Sjaichu, yang dengan semangat bela dirinya justru menampilkan atraksi “orang atas” yang tidak mengikuti kehendak para ulama daerah. Dalam struktur kekuasaan yang lebih berat kepada “kekuasaan orang daerah” dengan sendirinya pendekatan Idham Chalid terasa lebih simpatik.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN