Mengurai Prinsip Ulama Berpolitik

 
Mengurai Prinsip Ulama Berpolitik
Sumber Gambar: democrazy.id, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ada yang genit dalam menyikapi partisipasi ulama NU pada kontestasi politik nasional. Genit karena mereka mengkritisi keterlibatan ulama NU berpolitik praktis, sembari mereka sendiri yang berpolitik praktis. Mereka melarang perkara yang mereka lakukan. Tapi ini tidak lebih dari perang urat syaraf yang saling dilancarkan. Tidak perlu ditanggapi secara berlebihan.

Keterlibatan ulama dalam politik bukan hal yang tabu. Esensi aktivitas politik adalah ri’ayah syu’unil ummah (pengatur semua urusan umat). Aktivitas tersebuat sebagaimana yang dibebankan Allah SWT kepada nabi-Nya.

Pernyataan tersebut sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para khalifah dan mereka banyak.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn Majah).

Jika diamati dengan seksama, dari 25 orang Nabi dan Rasul, empat orang yang menjadi penguasa yaitu Nabi Yusuf AS, Nabi Daud AS, Nabi Sulaiman AS dan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan 21 orang nabi lainnya melaksanakan peran dan fungsi politik mereka tanpa kekuasaan formal.

Hubungan nabi dengan penguasa sebagian oposisi setelah penguasa menolak dakwah mereka dan lalu ingin membinasakan nabi tersebut. Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS mengalami hal yang demikian. Sebagai ahli waris para nabi, ulama juga memikul "

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN