Nasib Swasta dan 'Arah Angin' Proyeknya

 
Nasib Swasta dan 'Arah Angin' Proyeknya

LADUNI.ID, Jakarta – Salah satu dari sekian faktor dinamis dalam Pilpres adalah peran sektor swasta. Setidaknya ini terungkap seperti dalam survei Kompas pada bulan Oktober 2018 dan Maret 2019.

Kenapa suara Jokowi cenderung turun dan Prabowo naik? Salah satu jawabannya adalah kemacetan di tingkat pelaku ekonomi swasta. Sepanjang periode ini,  Jokowi mengembangkan sejenis kapitalisme negara. Proyek-proyek besar, terutama infrastruktur bernilai ratusan-ribuan triliun, dikelola dan dilaksanakan BUMN.

Sementara kita tahu, para pengusaha kita banyak mengandalkan proyek-proyek berbasis APBN-APBD. Berbeda dengan kelas borjuasi di tanah asalnya, kapitalisme semu negara-negara berkembang menghasilkan usahawan-birokrat atau client-businessmen yang mendapat konsesi bisnis dari negara dan perusahaan negara.

Mereka bukan kelas sosial mandiri yang mengimbangi kekuatan negara, tetapi bergantung kepada fasilitas negara dan tumbuh berkat koneksinya dengan para birokrat. Riggs (1964) menyebutnya dengan pariah enterpreneur.

Pola ini menghasilkan ekonomi perburuan rente selama puluhan tahun. Untuk dapat proyek negara, swasta ‘membelinya’ dari para birokrat. Birokrat menjajakan jabatannya untuk dapat duit sogokan. Ekonomi tumbuh dan bergerak di atas sistem ini. 

Sekarang Jokowi babat rantai ini. Proyek-proyek besar diserahkan semua ke BUMN. Ketika Jokowi baru menjabat, aset BUMN adalah Rp 5.760 triliun pada 2015. Akhir 2018, aset BUMN mencapai 8.061 triliun. Pada 2015, pendapatan BUMN baru Rp 1.699 triliun.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN