Perempuan, Kitab Kuning dan Kiai Husein Muhammad
Laduni.ID, Jakarta - “Aisyah: Sosok Perempuan yang Gagah.” Demikian salah satu judul artikel Kiai Husein yang terkumpul dalam buku, Spritualitas Kemanusiaan (2006), dan membuat saya terhentak. Jujur, seluruh hasil bacaan saya selama itu, Aisyah putri jelita Abu Bakar, istri Rasulallah, ibu para mukmin itu amat sangat lembut dan feminim, apalagi kita mengenalnya dengan “si Pipi Merah” atau khumairah.
Tetapi di tangan Kiai Husein, saya mendapatkan pemandangan lain. Tentu, selain ia perempuan yang tangkas dan cerdas, juga “tomboi.” Kata tomboi dalam bahasa Arab sering disebut rajulah, bukan mutarjillah.
Kata rajulah dan mutarjillah ini amat jauh berbeda. Rajulah merujuk pada hal-hal maskulin secara mental, sementara mutarjillah merujuk pada sikap yang menyerupai, misal berdandan seperti laki-laki. Untuk mendapatkan kesan ini, Kai Husein menulis bukan tanpa data, melainkan dengan setumpuk literasi kitab turas.
“Sayangnya, orang asing menenggelamkan predikit ini dari sejarah,” keluh Kiai Husein dengan mengutip pendapat Abu Said Al-Sairafi. Cerita mengenai ini bisa ditelusur lebih jauh dalam kitab Al-Imta’wa Al-Muanasah, karya Abu Hayan At-Tauhidi, jilid III, hal. 199-200.
Selalu ada tiga hal yang identik dengan Kiai Husein yaitu perempuan (gender), kitab kuning, dan pesantren. Di hadapan literasi yang kuat, nalar yang hidup, dan tradisi pesantren yang mendarah-daging, Kiai Husein tumbuh terus dalam kreasi, mendobrak, dan membela kaum marginal, terutama kaum perempuan.
Memuat Komentar ...