Tentang Khittah NU
LADUNI.ID - Saya yakin semua Nahdliyin, elit dan umatnya, setuju bahwa khittah NU bukanlah perkara yang jelas dan terang benderang. Dalam bahasa fiqh, khittah bukan perkara qath’ī (kategoris: jelas dan pasti), tetapi perkara dhannī (hipotetis: samar-samar). Ketidakpastian ini, sebagaimana Allah membagi agama ke dalam perkara muhkamat dan mutasyâbihât, tentu terkandung hikmah. Di dalam setiap perbedaan pendapat, tafsir, dan preferensi, terdapat rahmat untuk umat. Karena itu, izinkan saya menyumbangkan perspektif lain tentang khittah yang berbeda dengan tafsir guru kami, KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), dalam artikel di Jawa Pos berjudul “Beda Tafsir Khitah NU” (18/3/2019).
NU dan Politik
NU didirikan sebagai ormas sosial keagamaan (jam’iyah dīniyah ijtimâ’iyah). Namun, NU sejak awal tidak pernah lepas dari kegiatan politik. Jadi tidak tepat anggapan Gus Solah bahwa tujuan NU sekadar “mengembangkan Islam berdasar ajaran empat madzhab, sama sekali tidak bernuansa politik.” Sebelum NU resmi berdiri, KH Abdul Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (1916), Tashwirul Afkar (1918), dan Nahdlatut Tujjar (1918). Ketiga organ ini adalah embrio kelahiran NU.
Nahdlatul Wathan jelas bervisi politik yaitu kemerdekaan bangsa. Dalam Muktmar NU ke-11 di Banjarmasin tahun 1936, NU menelorkan ‘keputusan politik’ tentang Nusantara sebagai Dârus Salâm. Tahun 1938, di Muktamar Menes, Banten, sempat mengemuka usulan perlunya NU menempatkan wakil di Dewan Rakyat (Volksraad), meskipun ditolak. Tahun 1945, NU di bawah kepemimpinan Hadlratus Syeikh KH. Hasyim menggemakan Resolusi Jihad. Periode setelah itu, baik ketika menjadi komponen dalam Masyumi maupun setelah berdiri sebagai partai politik sendiri (1952-1973), NU terjun ke dalam politik praktis. Ketika akhirnya memutuskan kembali ke Khittah pada 1984, NU sedang menjalankan transformasi siasat, yang dalam istilah Kiai Sahal, pindah dari low politics (siyâsah sâfilah) ke high politics (siyâsah ‘âliyah sâmiyah). Poinnya, NU tidak pernah lepas dari politik, hanya beda dalam bentuk dan aktualisasinya. Memisahkan NU dari politik, seperti memisahkan rasa manis dari gula atau asin dari garam.
Memuat Komentar ...