Tafsir Salah Kaprah Pejuang Khilafah
LADUNI.ID - Acapkali al-Qur'an jadi alasan untuk melegitimasi ambisi politik suatu kaum. Sejatinya al-Qur'an membimbing aktivitas setiap muslim, termasuk yang terjun di dunia politik. Politisasi al-Qur'an dan ayatnya bukan barang baru. Ketika perang Shiffin antara Khalifah Ali dan Muawiyah Gubernur Syam, pasukan Muawiyah terdesak dan hampir kalah. Untuk menunda kekalahan, Amru bin Ash komandan pasukan Muawiyah melakukan manuver mengacungkan mushaf al-Qur'an.
Al-Qur'an simbol persatuan umat. Dengan mengacungkan al-Qur'an, Amru bin 'Ash mengajak Khalifah Ali berdamai. Setidaknya menghentikan serangan. Sebenarnya Khalifah Ali paham itu hanya manuver di medan perang, tapi atas desakan sebagian anggota pasukannya, Khalifah Ali menerima ajakan damai dari Amru bin Ash.
Pada kasus kaum Khawarij, ayat al-Qur'an jadi dasar gerakan politik untuk memberontak. Hanya sepotong ayat dari surat Yusuf: 40 yang berbunyi:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّه.
Dengan sepotong ayat itu kaum Khawarij merasa benar atas perilaku kejam mereka terhadap umat Islam. Benih perilaku politik menyimpang kaum Khawarij sudah muncul pertengahan masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Ditengarai merekalah kelompok politik dibalik pembunuhan Khalifah Usman. Lalu menyusup ke pihak Ali untuk mengaburkan jejak. Pada akhirnya mereka juga yang menikam Ali secara politik dan fisik.
Setelah itu sejarah politik umat tidak pernah sepi dari politisasi al-Qur'an, ayat dan maknanya. Politisi sudah sangat mafhum kalau aktivitas politik tergantung tingkat kepercayaan publik. Sejatinya kekuasaan politik merupakan formalisasi dari kepercayaan umat sebagai pemilik kekuasaan yang sebenarnya. Keberhasilan gerakan politik tergantung pada kepercayaan masyarakat. Di sinilah politisasi al-Qur'an jadi bagian tak terpisah sepanjang sejarah politik umat, terlepas apa hukumnya.
Memuat Komentar ...