Membaca Ijtihad Politik Pasca Wafatnya Nabi
Laduni.ID, Jakarta - Rasulullah SAW bukan hanya pemimpin umat, beliau juga seorang pemberi fatwa (qadhi), dan pemberi keputusan (hakim). Semua menjadi satu dalam diri Nabi Muhammad SAW. Beliau sadar bahwa keberadaan dirinya sebagai utusan Allah SWT untuk semua manusia, tak terkecuali. Kepemimpinan, akhlak, dan sifat kasih sayangnya dibutuhkan agar risalah Islam yang dibawanya dapat dipahami dan diterima dengan baik oleh seluruh umat.
Nabi Muhammad menyampaikan risalah Tauhid dan memimpin umat Islam di Makkah. Setelah berhijrah ke Yatsrib (Madinah) karena berbagai hal, Nabi bertemu dengan berbagai kelompok, suku, dan agama. Masyarakat Madinah sedari awal bersifat plural atau majemuk, sehingga memerlukan kepemimpinan yang kuat untuk merangkul semua bangsa di Yatsrib. Di Madinah, Nabi Muhammad hendak mewujudkan masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur. Dibuatlah kesepakatan bernama Piagam Madinah (Mitsaq Al-Madinah), berisi 47 pasal yang mengatur kehidupan bersama warga bangsa di Madinah.
Di sini, Nabi hanya memberikan inspirasi kepada umat Islam bagaimana membangun sistem "pemerintahan Islami" berdasarkan kesepakatan bersama warga bangsa. Kendati demikian, Islam tetap menjiwai praktik kepemimpinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad kala itu. Perlu dicatat bahwa ketika Nabi membangun komunitas baru di Madinah, Nabi tidak pernah mengemukakan satu pun bentuk pemerintahan politik yang baku dan diikuti oleh para penerusnya.
Memuat Komentar ...