“Tumpeng” sebagai Simbol Syukur dan Filosofi Kehidupan dalam Tradisi Nusantara

Laduni.ID, Jakart - “Tumpeng” adalah salah satu warisan budaya yang kaya makna dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di Pulau Jawa, Bali, dan Madura. Hidangan berbentuk kerucut ini tidak sekadar sajian kuliner, tetapi juga memiliki filosofi mendalam yang berkaitan dengan kepercayaan, sejarah, dan nilai-nilai kehidupan. Hingga kini, tradisi tumpeng tetap lestari, bahkan semakin dikenal dan digunakan dalam berbagai perayaan di seluruh pelosok negeri.
Konon, sejarah tumpeng berakar pada tradisi kuno masyarakat Nusantara yang memuliakan gunung sebagai tempat suci, tempat bersemayamnya para hyang atau arwah leluhur. Kepercayaan ini berkembang ketika kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia. Bentuk tumpeng yang menyerupai gunung dikaitkan dengan Gunung Mahameru, tempat para dewa-dewi dalam mitologi Hindu bersemayam.
Seiring waktu, tumpeng juga mengalami akulturasi dengan ajaran Islam yang berkembang di tanah Jawa. Dalam tradisi Islam Jawa, tumpeng memiliki makna spiritual yang dalam. Kata “Tumpeng” diartikan sebagai akronim dari pepatah Jawa “yen metu kudu sing mempeng”, yang berarti “bila keluar harus dengan sungguh-sungguh”. Ada pula hidangan pendamping bernama “Buceng”, yang berasal dari kata “yen mlebu kudu sing kenceng”, atau “bila masuk harus dengan sungguh-sungguh”.
Selain itu, lauk-pauk yang menyertai tumpeng umumnya berjumlah tujuh macam. Dalam bahasa Jawa, angka tujuh disebut “
UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN
Support kami dengan berbelanja di sini:
Memuat Komentar ...