Islam Nusantara, Radikalisme Agama, dan Pesan Sabdo Palon

 
Islam Nusantara, Radikalisme Agama, dan Pesan Sabdo Palon

LADUNI.ID - Menyebarkan Islam di pulau Jawa tidaklah mudah. Mengapa? Karena butuh perjuangan dan pengorbanan untuk membumikan ajaran agama Illahi. Perjuangan itu tidaklah gratis dengan cukup membalikkan tangan lalu menjadi Islam seluruhnya. Islam ada di Indonesia mungkin sudah lama. Banyak literatur yang menjelaskan bahwa ada hubungan antara Arab dan Jawa melalui perdagangan. Hal itu dicatat oleh kronik Cina dimana ada raja sabrang bernama Tashih yang menjalin hubungan dagang dengan Ratu Shima. 

Secara ekonomi, sudah bisa dikatakan mampu melakukan kerjasama. Akan tetapi, dalam prinsip keagamaan banyak kendala yang dihadapi. Semakin berkembangnya zaman, lahirlah sebuah organisasi dakwah bernama Walisongo. Saat itu, ada sembilan ulama' yang ahli dalam bidang pemerintahan, ekonomi, budaya, dan lainnya. 

Tantangan dakwah mereka cukup besar, diantaranya harus menghadapi beberapa ancaman dari oknum yang menolak adanya dakwah Islam. Menurut buku Atlas Walisongo karya KH. Agus Sunyoto diterangkan bahwa para Walisongo harus berhadapan dengan para pengikut aliran Bhairawa Tantra, penganut ilmu hitam, dan aliran kebatinan yang menolak adanya Walisongo yang di beberapa tempat. Walaupun harus dilakukan adu kekuatan dan ketinggian ilmu,  para wali tetap bersabar dalam berdakwah ahlussunah wal jama'ah kepada masyarakat Jawa. 

Masyarakat Jawa tentu paham dengan mitos Sabdo Palon dan Naya Genggong yang menjadi punakawan Raja Brawijaya. Dalam akhir masa Majapahit, mereka bernegosiasi dengan Kanjeng Sunan Kalijaga (dalam versi lain menyebutkan adalah Syekh Subakir/Syamsuddin al-Baqir) yang pada intinya menjelaskan bahwa Agama Rasul (Islam) boleh disebarkan oleh para wali dengan beberapa catatan. 

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN