Mengkaji Hukum Politik Uang
Laduni.ID, Jakarta - Dalam Islam, kepemimpinan mendapat perhatian yang sangat tinggi. Bahkan di kalangan ulama salaf, populer sebuah adagium yang berbunyi, “Tujuh puluh tahun berada di bawah pemimpin zalim lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin.” Pernyataan ini bukan berarti menoleransi kezaliman pemimpin, melainkan menjadi petunjuk bahwa betapa pentingnya kehadiran pemimpin. Dalam kumpulan individu yang majemuk, kepemimpinan berbanding lurus dengan keinginan tiap manusia untuk berada dalam sistem yang tertib, aman dan tidak kacau.
Islam memang tidak mengajarkan tentang cara khusus bagaimana proses pengangkatan pemimpin (nasbul imamah) dilangsungkan. Al-Khulafa Ar-Rasyidun yang memimpin setelah Nabi wafat pun diangkat sebagai khalifah dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar As-Shiddiq diangkat melalui musyawarah di hadapan massa, Umar bin Khattab melalui penunjukkan Abu Bakar setelah konsultasi dengan para sahabat, Utsman bin Affan melalui tim formatur yang dibentuk Umar, sedangkan Ali bin Abi Thalib juga melalui kesepakatan masyarakat. Dengan demikian, persoalan pengangkatan kepemimpinan pada dasarnya adalah persoalan ijtihadi, yakni olah pikir sungguh-sungguh tentang sistem politik yang paling sesuai dengan kemaslahatan di zamannya.
Di negeri kita tercinta ini, proses pengangkatan pemimpin dilalui lewat proses pemilihan umum atau pemilu. Dalam pemilu, semua orang berhak diangkat sebagai pemimpin dan berhak pula memilih siapa pun untuk menjadi pemimpin. Tentu saja hak ini dibatasi oleh norma-norma tertentu yang tidak menghalalkan segala cara dalam meraih suatu jabatan politik.
Memuat Komentar ...