Pergeseran Paradigma Fikih dalam Islam

 
Pergeseran Paradigma Fikih dalam Islam

Oleh AHMAD FAIROZI*

LADUNI.ID, Jakarta - Sebagian kalangan meyakini bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Berkaitan dengan penutupan pintu ijtihad, Anderson menyatakan:[1] “dengan mengkristalnya ajaran mazhab, hak berijtihad hanya dibatasi sampai kira-kira akhir abad ke-3 H yang ditandai dengan diterimanya jargon “pintu ijtihad telah ditutup”.[2] Realitas yang demikian ini awal-awal pada paruh terahir abad ke-3 hingga memahsuki abad ke-4.

Sebagian kalangan besar umat Islam mempersepsikan fikih  sudah final dan sudah cukup dengan segala bentuk ijtihad para keempat imam madzhab yang memproduksi hukum-hukum fikih tersebut. Sehingga dari itu masyarakat sudah menganggap fikih madzhab tersebut sebagai aturan paten, mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat serta mesti dikerjakan. Sebagian masyarakat mempersepsikan hukum fikih sebagai kewajiban qoth’i. Realitas kesalahan pola pikir ini secara umum disebabkan hukum-hukum fikih hanya melulu dijajalkan hukum-hukumnya yang sudah berbentuk produk tampa diimbangi dengan penjelasan filosofis serta hikma dibalik disyariatkannya fikih tersebut. Sehingga bias yang ditorehkan adalah paradigma fikih dogmatik yang kaku dan stagnan.

Secara sepintas paradigma ini memberi dampak praksis bagi masyarakat. Hukum fikih hasil ijtihad ulama cukup dijalankan sebagaimana alurnya, membebaskan masyarakat luas pada kewajiban berijtihad yang begitu berat memahami teks agama. Dan kondisi berjalan selang bebeapa waktu pasca aba ke-4 tersebut. Seiring dengan perkembangan masa, sebentuk tata-aturan agama yang berupa fikih dirasa sudah tidak lagi cukup memberi jawaban pada segala problematika umat manusia terus berlalu. Manusia dengan segala kebutuhannya meniscayakan adanya ijtihad baru untuk menemukan titik temu antara persoalan hidup manusia dengan nilai-nilai agama.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN