Pergeseran Paradigma Fiqih dalam Islam

 
Pergeseran Paradigma Fiqih dalam Islam
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sebagian kalangan meyakini bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Berkaitan dengan penutupan pintu ijtihad, Anderson menyatakan:[1] “dengan mengkristalnya ajaran mazhab, hak berijtihad hanya dibatasi sampai kira-kira akhir abad ke-3 H. yang ditandai dengan diterimanya jargon “pintu ijtihad telah ditutup”.[2] Realitas yang demikian ini awal-awal pada paruh terakhir abad ke-3 hingga memasuki abad ke-4.

Sebagian kalangan besar umat Islam mempersepsikan fiqih sudah final dan sudah cukup dengan segala bentuk ijtihad para keempat imam mazhab yang memproduksi hukum-hukum fiqih tersebut. Sehingga dari itu masyarakat sudah menganggap fiqih madzhab tersebut sebagai aturan paten atau mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat serta mesti dikerjakan. Sebagian masyarakat mempersepsikan hukum fiqih sebagai kewajiban qoth’i. Realitas kesalahan pola pikir ini secara umum disebabkan hukum-hukum fiqih hanya melulu dijajalkan hukum-hukumnya yang sudah berbentuk produk, tetapi tanpa diimbangi dengan penjelasan filosofis serta hikmah di balik disyariatkannya fiqih tersebut. Sehingga bias yang ditorehkan adalah paradigma fiqih dogmatik yang kaku dan stagnan.

Secara sepintas paradigma ini memberi dampak praksis bagi masyarakat. Hukum fiqih hasil ijtihad ulama cukup dijalankan sebagaimana alurnya, membebaskan masyarakat luas pada kewajiban berijtihad yang begitu berat memahami teks agama. Dan kondisi berjalan selang beberapa waktu pasca abad ke-4 tersebut. Seiring dengan perkembangan masa, sebentuk tata-aturan agama yang berupa fiqih dirasa sudah tidak lagi cukup memberi jawaban pada segala problematika umat manusia terus berlalu. Manusia dengan segala kebutuhannya meniscayakan adanya ijtihad baru untuk menemukan titik temu antara persoalan hidup manusia dengan nilai-nilai agama.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN