Jangan Sampai Berhenti Pada Rutinitas Hari Kartini yang Menjemukan

 
Jangan Sampai Berhenti Pada Rutinitas Hari Kartini yang Menjemukan

LADUNI.ID - Sosok perempuan cerdas dan berkelas sekaliber Kartini dalam memperjuangkan derajat perempuan Indonesia, ketika namanya melegenda namun perjuangannya tak diteruskan dalam bentuk aksi nyata, hanya melalui lomba busana kebaya, adalah hal yang memprihatinkan sekaligus menjemukan.

Sudah mencapai di titik 2019 ini Hari Kartini dirayakan, namun perayaannya sejak Orba hingga kini sangat tak mencerahkan. Hari besar bagi perempuan Indonesia yang semestinya diperingati dengan semangat keadilan dan kesetaraan, justru dipenuhi dengan lomba-lomba basi seperti busana kebaya, busana adat, dandan bahkan masak. Ritual perayaan yang bahkan sudah menjadi merek di negeri ini, namun sungguh bertolak belakang dengan semangat perjuangan seorang Kartini yang terlahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara itu.

Kondisi tersebut juga terlihat memprihatinkan jika kebaya hanya dikenakan ketika berhari raya. Padahal kebaya sebagai identitas dan tradisi, mengapa berselera hanya di Hari Kartini. Di eranya, Kartini seorang diri berani melawan budaya feodalisme dan patriarki, inilah yang semestinya dilanjutkan dan diikuti oleh generasi perempuan di era ini.

Bahkan Kartini hanya berkesempatan hidup selama 25 tahun, namun perjuangan dan pikiran-pikirannya melambung, menginspirasi banyak perempuan di Indonesia dan dunia. Berawal dari diterbitkan surat-suratnya di Belanda pada tahun 1911 yang kemudian diindonesiakan pada tahun 1922 dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Menjadikan para pembaca takjub akan sosok Kartini. Takjub akan sosok perempuan yang berani dan cerdas dengan semangat belajar yang luar biasa di umur yang begitu muda, dengan segala keterbatasan di eranya, dengan sesingkat waktu hidupnya, namun punya ide dan gagasan besar yang membuka mata hati generasi setelahnya hingga lebih dari satu abad lamanya. 

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN