Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal
Laduni.ID, Jakarta - Baik referensi fiqih klasik maupun kontemporer, serta praktik negara-negara yang berbasis ilmuwan Islam sebenarnya telah memberikan panutan yang amat berharga dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Secara tersirat maupun tersurat, ulama empat mazhab memberikan posisi ekstra kepada hakim dalam penetapan ini. Dalam konteks keindonesiaan, pemerintah memegang peranan sentral dalam mengeluarkan kebijakan penentuan awal Ramadhan dan Syawal yang seharusnya diikuti oleh seluruh umat Islam di Indonesia.
Sudah saatnya kita juga memahami bahwa toleransi tidak hanya perlu dilaksanakan oleh kelompok mayoritas. Kelompok yang lebih kecil seharusnya juga berlapang dada dan bersikap terbuka, tidak hanya untuk tampil beda, tapi lebih memilih untuk menyatukan perbedaan yang tidak mustahil dilakukan, apalagi jika tidak memiliki dalil yang lebih kuat.
Pemerintah telah memberikan otoritas kepada Kementerian Agama RI, lembaga inilah yang kita pandang sebagai penengah. Bukankah dalam banyak kasus kita bisa menaati keputusan dari pemerintah melalui birokrasi yang ditetapkan selama tidak bertentangan dengan acuan hukum, namun mengapa pada penyatuan Ramadhan atau Syawal kita "terkesan" enggan dan tetap mempertahankan pendapat?
Namun perlu diingat, perkara ini hanya sebagian isi fiqih furu’iyah yang tidak perlu dicela atau dicerca jika terjadi perbedaan, apalagi sampai memicu perpecahan dan memutus tali persaudaraan, atau bahkan sampai memberi stempel kafir. Tentu hal-hal buruk itu tidak diharapkan terjadi di negeri tercinta kita ini.
Memuat Komentar ...