Mengupas Makna Shiyam dan Shoum

 
Mengupas Makna Shiyam dan Shoum

LADUNI.ID - QS. Al-Baqarah/2: 183 adalah dalil yang paling sering dikutip dalam pembahasan puasa. Di antara kandungan ayat tersebut terdapat dua kata kunci. Pertama, perintah puasa itu sendiri. Kedua, tujuan disyariatkannya puasa. Terkait puasa, al-Qur’an menggunakan dua redaksi yaitu shiyâm dan shaum. Kata shiyâm muncul sebanyak 8 kali dalam al-Qur’an, tersebar di beberapa surat. Sementara kata shaum hanya muncul sekali dalam QS. Maryam/19: 26. Jika shiyâm merujuk kepada perintah meninggalkan makan minum dan hubungan suami-isteri, shaum justru diawali dengan perintah makan dan minum. Perhatikan QS. Maryam/19: 26:
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: Sungguh aku telah bernazar puasa untuk Allah Yang Maha Rahman, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.”

Puasa jenis pertama (shiyâm) adalah puasa syariat yaitu menahan barang masuk ke dalam mulut berupa makan minum. Puasa jenis kedua (shaum), sebagaimana dilakukan Siti Maryam, adalah menahan barang keluar dari mulut berupa ucapan/perkataan. Jika puasa dalam arti fikih hanya berlaku satu bulan, yaitu di bulan Ramadan, puasa dalam pengertian hakikat berlaku sepanjang tahun. Di bulan Ramadan, orang dituntut melakukan shiyâm sekaligus shaum yaitu menahan barang masuk ke mulut berupa makan minum, sekaligus barang keluar dari mulut berupa ucapan kotor atau muspra. Dalam sebuah hadis sahih disebutkan, Allah tidak butuh puasanya orang yang tidak berhenti memproduksi qaulaz zūr. Tercakup dalam qaulaz zūr adalah setiap ucapan batil seperti dusta (hoaks), hate speech, berguncing, dan adu domba. Di luar Ramadan, orang tidak wajib melakukan shiyâm tetapi harus tetap melakukan shaum. Bahkan al-Qur’an menghubungkan kewajiban memproduksi perkataan yang baik dengan ketakwaan (QS. Al-Ahzâb/33: 70).

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN