Mengapa Kita Harus Hormat Guru #2
LADUNI.ID, Jakarta - Satu hal yang unik, setiap membacakan (mengajar) kitab di depan para santri, ketika beliau bertemu dengan ruju’ (tempat kembalinya maksud dari sebuah kata), Mbah Abdul Karim tidak pernah menyebutkan ruju’nya secara gamblang. Beliau menyebutkan dengan ‘iku mau’, atau ‘mengkono mau’ (yang tadi atau “sebagaimana tadi”). Tentu ini membingungkan bagi para santri baru.
Hingga pernah suatu ketika pada saat pengajian bulan Ramadhan, atau dikenal dengan istilah ‘posonan’, seorang santri dari luar daerah mengikuti pengajian Mbah Abdul Karim. Karena setiap mengajar kitab, Mbah Abdul Karim jarang menjelaskan ruju’annya, santri baru ini ‘nggerundel’; “Ini bagaimana, katanya seorang kyai ‘alim, kok setiap ada ruju’an tidak pernah dijelaskan?”, gumamnya dalam hati.
Dengan izin Allah, Mbah Abdul Karim ‘perso’ (mengetahui) perihal keluhan sang santri ini. Di tengah suasana mengaji, Mbah Abdul Karim dhawuh;
“Laa ya’rifu al dhomir illa al dhomir, fa man lam ya’rif al dhomir fa laisa lahu al dhomir” (tidak akan pernah mengetahui makna dhomir kecuali hati (dhomir),
maka apabila seseorang tidak mengetahui dhomir, itu artinya dia tidak punya hati). Lalu beliau menjelaskan kepada para santri, bahwa demikianlah (dengan tidak menjelaskan ruju’nya dhomir) pengajian yang diajarkan oleh gurunya, Mbah Kholil. Sehingga ketika mengajar kepada santrinya, Mbah Abdul Karim tidak berani mengubah apa yang diajarkan sang guru kepadanya.
Memuat Komentar ...