Spesialisasi NU adalah Menjadi Penyeimbang
Oleh RIJAL MUMAZZIQ Z
LADUNI.ID, Jakarta - 7 Agustus 1949, SM. Kartosuwirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesa. Banyak faktor yang membuat dirinya memutuskan aksi tersebut, antara lain, karena beberapa perjanjian yang merugikan republik, seperti Linggarjati dan Renville. Pemerintah dianggap tidak becus dan menghianati rakyat. Kelak, aksinya mendapatkan dukungan dari para panglima lokal yang kecewa dengan Bung Karno, Daud Beureueh di Aceh, Amir Fatah di Jawa Tengah & Kahar Muzakkar di Makassar.
DI/TII berusaha menggaet dukungan Masyumi, termasuk NU di masih bergabung dalam partai politik Islam ini. Semua kiai NU maupun ormas yang sealiran dengan NU menolak DI/TII dan menganggapnya sebagai tindakan bughat/ berontak yang dilarang Islam. Tak mau kalah, beberapa serdadu DI/TII melakukan aksi sepihak dengan cara sabotase dukungan ulama. KH. Yusuf Tauziri, ulama kharismatik dari Garut yang juga pemimpin Hizbullah, diminta bergabung. Beliau menolak. Gerilyawan DI/TII memberondong pesantren miliknya, total ada 17 kali gempuran yang mengakibatkan kerusakan berat. Beberapa santri gugur. Pesantren Darussalam, Cipari, kemudian dipindahkan ke Wanaraja, tak jauh dari lokasi awal, pada 1952.
Ironisnya, Kartosuwiryo dulu mengaji kepada Kiai Yusuf, dan menjadi penasehat spiritualnya di Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Tapi, perbedaan sudut pandang membuat murid gelap mata. Gagal membujuk Kiai Yusuf, yang tampaknya akan dijadikan semacam "pemimpin spiritual" atau mufti, DI/TII mengalihkan target. Kali ini, KH. Ruchiyat, pemimpin pesantren Cipasung, Tasikmalaya, menjadi target aksi. Beliau ditawari menjadi mufti, tapi menolak. Beberapa serdadu DI/TII kemudian menyediakan tandu untuk menculiknya dan memaksa beliau ikut bergerilya di hutan. Ayah KH. Ilyas Ruchiyat (Rais Aam Syuriah PBNU, 1992-1999) ini tetap bersikukuh menolak. Akhirnya, beliau menantang para gerilyawan ini. Caranya, beliau duduk di dalam tandu lalu mempersilahkan rombongan untuk untuk mengusungnya. Aneh, meski sudah diangkat beberapa orang, tandu tak bergerak seincipun, seolah menancap dalam tanah. Ajengan Ruchiyat masih tetap duduk dalam tandu dengan santai. Setelah itu, rombongan ini undur diri dan masuk hutan lagi.
Memuat Komentar ...