Mudik dalam Wajah Lebih Otentik

 
Mudik dalam Wajah Lebih Otentik

LADUNI. ID, KOLOM- Budaya mudik boleh saja tetap dilestarikan. Namun lebih baik lagi bila kita mencoba memberi makna mudik Lebaran itu secara lebih otentik bagi kepentingan kemanusiaan. Terlebih lagi ketika dunia, dan khususnya bangsa ini, sedang dilanda krisis kemanusiaan. 

Di situlah hari raya fitrah akan bisa betul-betul kita beribberiberieri arti sebagai kembalinya manusia ke keaslian dirinya yang fitri. Yakni tatkala kita dapat menemukan kembali jalan pulang setelah mengembara dalam perangkap berhala semua bentuk pelembagaan hubungan antarmanusia dan hubungan manusia dengan Tuhan-nya.

Nabi Muhammad pernah bersabda untuk memperingatkan adanya kecenderungan kaum Muslimin dalam memenuhi ajaran Lebaran di hari raya fitrah. Inti sabdanya, Tuhan tidaklah melihat pakaian kaum Muslim yang berganti menjadi baru pada hari raya fitrah sesudah puasa berakhir, tapi Tuhan hanya akan melihat hati kaum Muslimin yang tercerahkan. Pencerahan ini sekurangnya bisa dilihat dari hakikat ajaran kewajiban membayar zakat fitrah sebagai penyempurna puasa.

Maka, kewajiban zakat fitrah perlu ditafsirkan lebih otentik sebagai media pemeluk Islam agar peduli dan membebaskan manusia dari semua penindasan, terutama dalam hubungannya dengan aktivitas perekonomian. 

Di sinilah relevannya statemen Abdurrahman Wahid (1982, 1999 dan 2000) bahwa “Tuhan tidak perlu dibela.” Sebab, ajaran Islam yang diturunkan Tuhan bukanlah bagi kepentingan diri Tuhan itu sendiri. Islam diwahyukan Tuhan agar manusia yang percaya kepada-Nya membela sesamanya yang memang perlu dan membutuhkan pembelaan.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN