Sejarah Sumatra Timur dalam Kontrol Putra Mahkota Aceh
Oleh MUSAFIR ZAMAN*
LADUNI.ID, Jakarta - Namanya muncul kuat dalam peristiwa-peristiwa lewat tengah abad ke-19 Masehi (ke-13 Hijriah). Masa itu, Belanda sedang berupaya keras menanamkan pengaruhnya di Sumatera Timur lewat jalan-jalan yang licik. Dan ia pada waktu itu adalah panglima angkatan bersenjata Aceh Darussalam.
Namanya, sebagaimana terpahat pada nisan kuburnya, ialah Tuanku Pangiran Husain. Ia adalah putra dari sang pembela tanah air Islam, Almarhum Paduka Sri Sultan Manshur Syah Zhillu-Llah fil 'Alam, Sultan Aceh Darussalam.
Gerak Tuanku Pangiran Husain, atas perintah Ayahandanya, ke kawasan Sumatra Timur pada 1854, segera menggelisahkan Belanda. Dengan armada yang terdiri dari 200 kapal perang, ia telah berhasil menyelesaikan tugasnya, dalam tempo yang singkat, menyatukan berbagai kekuatan di Sumatra Timur untuk menghadapi Belanda.
"Beberapa pengakuan telah dicapai, yang isinya bahwa kedaulatan Aceh memanglah daerah-daerah tersebut. Aceh memberi gelar kepada Tengku Ngah Langkat yang sebegitu jauh bergelar Pangeran Mangku Negara Raja Muda Langkat menjadi Pangeran Indra Diraja Amir. Sultan Usman Deli diberi kuasa olah Sultan Aceh menjadi wakil Sultan dan mendapat cap sambilan. Sultan Basaru'ddin Serdang mandapat titel wazir Sultan Aceh," demikian antara lain yang ditulis M. Said dalam bukunya, Aceh Sepanjang Abad (I: 550; 618-620).
Pengutusan Almarhum Tuanku Pangiran Husain dalam masa-masa gawat itu, serta kesuksesan kerjanya, menunjukkan kebesaran pribadi ini, yang telah sedia setia selalu berdiri bersama Ayahandanya demi cita-cita luhur mempertahankan tanah air Islam. Namun, tampaknya, takdir Yang Maha Tinggi tidak memberikan kepadanya waktu yang lebih lama untuk berada bersama Ayahandanya dalam menggapai cita-cita tersebut.
Memuat Komentar ...