Pahlawan Terkutuk (Seri 1)
LADuNI.ID - Kairo 1983. Musim semi mulai merekah. Taman-taman penuh bunga warna-warni menebarkan keharuman yang menggairahkan. Langit menebarkan cahaya teduh dan mengembuskan angin sepoi-sepoi yang lembut. Saat matahari mulai menepi ke barat, dan langit mulai menguning, di atas altar rerumputan yang segar, perempuan- dan laki-laki muda terlibat dalam perbincangan manis dan tawa riang yang renyah. Wajah mereka merah merona dan berbinar-binar. Di sudut lain tampak anak-anak berlari-lari, berkejar-kejaran, ada yang terjatuh dan menangis, lalu berhenti dan berlari lagi. Langit kemudian berangsur-angsur berubah menjadi temaram, dan memunculkan cahaya merah saga. Beberapa saat kemudian bulan akan segera bergerak sambil merangkak perlahan menuju tengah langit. Bumi manusia akan tampak bersinar cemerlang. Dunia menjadi ceria.
Nah, bila musim ini tiba, aku, sering pergi menuju sungai Nil yang indah itu sambil menikmati udaranya yang sedikit hangat. Dari Nasr City, aku naik bus kota yang berjubel menuju pusat kota, lapangan Tahrir, "Tahrir Square". Lumayan jauh.
Aku berharap di sana bisa bertemu dan mendengarkan celoteh para penyair, sastrawan dan budayawan terkenal Mesir. Mereka biasanya nongkrong di "maqha", cafe, yang ada di sepanjang tepi sungai terpanjang di dunia itu. Beberapa diantara mereka yang bisa disebut: Hafiz Ibrahim, Ahmad Syauqi, Abbas Mahmud Aqad, Taufiq al-Hakim, Naguib Mahfuz, dan lain-lain.
Maka suatu hari aku melihat Taufiq el-Hakim dengan peci khasnya dan kumisnya yang telah memutih dibiarkan memanjang. Sastrawan terkemuka Mesir itu duduk sendiri sambil minum ‘qahwah’ (kopi). Ia tampak begitu asyik membaca karya-karya sastra dunia.
Memuat Komentar ...