Kebiasaan Memuji Penguasa ala Imam Ghazali
LADUNI.ID - Ini cuma cerita kecil tentang bagaimana seorang ulama berusaha menyelaraskan antara ilmu dan amal, antara apa yang ia katakan dengan apa yang ia lakukan. Ulama yang dimaksud adalah Abu Hamid al-Ghazali, guru Sufi dari Persia abad ke-11. Ulama kelahiran Thus ini terkenal amat ketat standar moralnya dalam soal dakwah dan pengajaran. Dalam salah satu suratnya yang ia alamatkan kepada seorang muridnya, sang Hujjat al-Islam wanti-wanti agar sang murid pantang mengajar apapun kecuali ia mengamalkan terlebih dahulu apa yang akan ia ajarkan.
Nah, dalam buku-bukunya yang membicarakan etika spiritual seperti Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, dan Bidayat al-Hidayah, al-Ghazali menganggap pujian sebagai salah satu maksiat lidah, sebanding dengan dusta, gosip, dst. Baginya, kebiasaan memuji akan menimbulkan keburukan moral yang akan menjadi katarak batin di hati setiap Muslim yang sedang menempuh jalan ruhani.
Di dalam Kitab al-Arba’in, misalnya, ia mencatat setidaknya enam keburukan moral yang ditimbulkan oleh pujian; empat di antaranya menimpa mereka yang memuji (al-madih), dan dua sisanya pada mereka yang menerima pujian (al-mamduh). Sehubungan dengan orang yang memuji (al-madih), kata al-Ghazali, ia terkadang terdorong untuk (i) berbicara berlebihan sehingga ia mengungkapkan sesuatu yang sesungguhnya tidak benar. Maka ia telah berbohong. Atau ia (ii) mengklaim sesuatu yang tidak ia yakini. Maka ia menjadi munafik. Atau ia (iii) mengatakan sesuatu yang tidak benar-benar ia ketahui. Maka ia telah berbicara sembarangan. Atau ia (iv) ingin menyenangkan penguasa. Padahal ia zalim. Maka ia bermaksiat karena telah membuat penguasa zalim bahagia. Orang yang dipuji (al-mamduh), sementara itu, berisiko (v) menjadi sombong dan besar kepala karena dipuji. Padahal kedua perangai ini akan mencelakakannya di akhirat. Atau pujian (vi) membuatnya cepat berpuas diri dan malas bekerja.
Memuat Komentar ...