Hukum Nikah dengan Wanita Tidak Perawan karena Zina
LADUNI.ID, Ketika malam pertama perkawinan anda menjumpai istri tidak perawan, apa respons anda? Marah dan kecewa itu pasti. Tapi tunggu dulu, adakalanya ketidakperawanan disebabkan oleh ketidaksengajaan seperti jatuh, olahraga, diperkosa. Tapi banyak juga disebabkan karena pernah berbuat zina dengan pacar atau siapapun. Bagaimana hukum pernikahan wanita pezina, apakah sah? Perlukah diulangi?
Pada prinsipnya Islam tidak mengatur perempuan mana yang harus dinikahi seperti latar belakang suku, warna kulit, termasuk status gadis atau janda. Hanya saja Islam menyebut sejumlah perempuan yang haram untuk dinikahi.
Untuk menyebut beberapanya, kami mengutip salah satu karya Imam Al-Ghazali sebagai berikut ini.
الركن الثاني المحل وهي المرأة الخلية من الموانع مثل أن تكون منكوحة الغير أو مرتدة أو معتدة أو مجوسية أو زنديقة أو كتابية بعد المبعث أو رقيقة والناكح قادر على حرة أو مملوكة الناكح بعضها أو كلها أو من المحارم أو بعد الأربعة أو تحته من لا يجمع بينهما أو مطلقة ثلاثا ولم يطأها زوج آخر أو ملاعنة أو محرمة بحج أو عمرة أو ثيبا صغيرة أو يتيمة أو زوجة رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya, “Rukun kedua nikah adalah calon istri. Ia adalah perempuan yang terlepas dari larangan-larangan (untuk dinikahi) seperti (ia bukan) (1) istri orang lain (2) murtad (3) dalam masa iddah (4) penganut Majusi (5) zindiq (6) ahli kitab setelah Nabi Muhammad SAW diutus (7) budak milik orang lain di mana calon suami mampu mengawini perempuan merdeka (8) budak milik calon suami itu sendiri baik separuh atau sepenuhnya dalam kepemilikan (9) salah satu dari mahram (10) calon istri kelima darinya (11) perempuan yang tak lain saudara (kandung, susu, atau bibi) dari istri calon suami (yang ingin poligami) di mana dilarang menghimpun dua perempuan bersaudara dalam satu perkawinan (12) istri talak tiga yang belum dinikahi (harus dijimak) laki-laki lain (13) istri yang dili’an (14) perempuan yang sedang ihram haji atau umrah (15) janda di bawah umur (16) bocah perempuan status yatim (17) salah satu istri Rasulullah SAW,” (Lihat Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Al-Wajiz fi Fiqhil Imamis Syafi‘i, Beirut, Darul Arqam, tahun 1997 M/1418 H, juz II, halaman 10).
Memuat Komentar ...