GusMus dan Kisah Proposal Untuk Pejabat

 
GusMus dan Kisah Proposal Untuk Pejabat

LADUNI.ID - “Abahmu pernah rasan-rasan, kepingin merenovasi langggar”, kata paman saya, Kyai Mustofa Bisri, “tapi sampai meninggalnya belum kesampaian”.

Saya tercenung. Itu bukan kalimat sharih, tapi mafhumnya jelas: perintah. Dan perintah yang musykil. Betapa tidak? Saya tidak punya uang. Dan saya bukan profesional dalam bidang tertentu yang dapat menghasilkan uang –saya baru saja “memensiunkan diri” dari profesi politik dan belum menemukan profesi penggantinya.

Hanyut dalam cara berpikir yang “normal” dari seorang “gus kontemporer” seperti saya, segera muncul dalam benak saya gagasan untuk mencari bantuan dari sumber-sumber yang paling populer di kalangan pondok pesantren dewasa ini, yaitu para aktor pemangku kepentingan politik, khususnya pejabat-pejabat pemerintahan. Dan saya merasa punya keunggulan dalam hal itu, mengingat saya pernah aktif dalam politik hingga ke puncak arena permainannya (menjadi Juru Bicara Presiden).

Maka segera pulalah saya kerjakan persiapan yang lazim: menyusun proposal dan surat permohonan bantuan dengan alamat kontak-kontak politik yang saya miliki di kalangan pejabat pemerintahan. Di bagian bawah proposal dan surat-surat permohonan itu saya sediakan ruang untuk tanda tangan paman saya: K.H. A. Mustofa Bisri. Pikir saya, ketokohan paman saya jelas punya harga mahal untuk “dijual”. Saya suruh salah seorang sepupu yang telah saya tunjuk sebagai Ketua Panitia untuk menindaklanjuti dokumen-dokumen itu, termasuk meminta tanda tangan dari paman saya kemudian mengirim ke alamat-alamat yang telah saya tentukan daftarnya.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN

 

 

Tags