Imam Ghazali dan Filsafat (Seri 1)

 
Imam Ghazali dan Filsafat (Seri 1)

LADUNI.ID - Apakah al-Ghazali menolak filsafat, atau lebih persisnya filsafat Aristoteles? Tidak. Ini akan tampak bila kita menyeksamai isi karya-karyanya yang bersinggungan dengan filsafat.

Sejarah karya tulis al-Ghazali bisa dibagi dalam tiga fase, yakni (1) saat menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyyah pusat di Baghdad, di sekitar usia 32-37; (2) setelah melepaskan jabatan guru besar untuk mengembara dan uzlah hingga kembali ke kampung halaman di Tus, di usia 37-47; (3) setelah mengajar kembali di Nizhamiyyah—kali ini di cabangnya di Nishapur karena ia menolak kembali ke Baghdad—hingga wafat, di usia 47-53.

Di fase pertama, karya utamanya adalah empat kitab filsafat-cum-teologi. Ihya’ ‘Ulumiddin (“Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama”) ditulis di fase kedua. Al-Munqidz minad-Dhalal (“Penyelamat dari Kesesatan”) di fase ketiga. Empat karya filsafat-teologi di fase pertama itu adalah: Maqashid, Tahafut, Mi‎’yar, dan Iqtishad.

Sejumlah sejarawan peneliti al-Ghazali menyebutkan bahwa Maqasid al-Falasifah (“Tujuan Para Filsuf”) secara substansi berisi mirip dengan Danesh-Name Alai, satu-satunya karya utama filsafat Ibn Sina yang ditulis dalam bahasa Persia, meski dengan urutan bab yang berbeda. Maqasid berisi tiga ilmu, yakni logika (manthiq), filsafat alam (thabi’iyyat), dan metafisika (ilahiyyat). Al-Ghazali menyatakan di akhir Maqashid bahwa kitab ini menjadi pengantar sebelum masuk ke Tahafut.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN