Makna Kritis Lokalisme: Refleksi 74 Tahun Indonesia Merdeka
LADUNI.ID - Keberdayaan lokal, terutama di daerah tertinggal tidak selayaknya dipandang sekedar 'siapa' menguasai 'apa'. Secara lebih gamblang, kebangkitan otonomi daerah sering terjebak oleh pemahaman elit lokal siapa berkuasa atas kekayaan lokal apa. Pemberdayaan masyarakat lokal akar rumput lah yang seharusnya mendapat perhatian lebih, karena ia merupakan hulu sekaligus hilir dari ruh pembangunan nasional. Akses terhadap informasi, pendidikan, ekonomi, dengan dibalut terminologi "keberlanjutan" tampaknya akan mampu menjadi martir pendobrak dari belenggu ketertinggalan.
Menariknya, banyak program yang digagas dan dimaksudkan untuk pengentasan desa tertinggal mulai massif dilaksanakan dengan dana yang cukup melimpah. Hanya saja, aksesibilitas masyarakat untuk menjangkaunya masih terkesan berjarak. Keterbatasan kemampuan literasi dan ketidakberdayaan di hadapan kekuasaan menjadi masalah mendasar bagi masyarakat desa tertinggal. Dana pembangunan desa sering diartikan sebagai kue lezat yang dibagi-bagi secara proporsional dalam arti pengaruh dan kekuasaan elit lokal, bukan bersasar asas keadilan sosial.
Sudah selayaknya kritik terus dibangun menggugah intelektual untuk secara aktif ikut andil mengawasi pembangunan berbasis lokalisme. Pertanyaan kritis dapat diarahkan pada beberapa bidang penting: "apakah desain pendidikan pemberdayaan tidak atraktif bagi masyarakat lokal?"; atau "apakah model pembangunan yang dikembangkan tidak layak untuk diterapkan?", sehingga dampak pembangunan tidak dirasakan secara massif.
Memuat Komentar ...