Kisah KH Abdullah Sajjad, Sang Martir Kemerdekaan Warga dan Santrinya
LADUNI.ID, Jakarta - Kemerdekaan bangsa Indonesia 74 tahun yang silam tidak diperoleh dari pemberian bangsa lain, melainkan dari ikhtiar putra-putri terbaik bangsa ini. Termasuk juga upaya-upaya menjaga ‘bayi’ kedaulatan di dalamnya. Berbagai macam cara mulai dari adu kekuatan fisik di medan perang hingga jalur diplomasi politik di atas meja perundingan berlangsung dan dilalui nyaris tanpa putus. Yang dikorbankan juga tak sekadar harta benda, namun juga jiwa tanpa pandang usia dan jenis kelamin.
Di wilayah Madura yang relatif jauh dari hiruk pikuk perang besar seperti salah satunya perang Jawa (1825 M), tidak berarti sepi sama sekali dari perlawanan lokal. Sikap patriotik rakyat Madura yang lebih didasari oleh tradisi menjaga kehormatan dan harga diri serta cinta tanah air dibanding menjaga nyawa, membuat para pejuangnya lebih tidak takut mati.
Penulis jadi teringat pada kisah terbunuhnya Pangeran Adipati Cakraningrat III (Sedingkapal) dan beberapa putranya di atas kapal VOC setelah mengamuk dengan menghabisi beberapa serdadu Belanda (diceritakan bahwa seluruh serdadu di kapal itu hampir habis dibunuh sang Pangeran bersama putranya dan beberapa pengikutnya) hanya karena sekadar salah paham mengenai perbedaan tradisi.
Dalam skala makro (membela kebenaran universal), adu fisik ini menjadi perlawanan patriotik yang tidak bisa patah hanya karena hilangnya nyawa. Karena pada hakikatnya kebenaran merupakan akar yang bisa menumbuhkan kembali dedaunan yang berguguran akibat musim kemarau. Mungkin inilah salah satu alasan yang membuat beberapa putra-putri terbaik Madura rela kehilangan nyawanya, bahkan saat udara kemerdekaan sudah menggantikan pengapnya penjajahan pasca 17 Agustus 1945. Seperti yang terjadi pada KH Abdullah Sajjad dan Letnan R Mohammad Ramli. Dua di antara bunga-bunga bangsa yang namanya tetap harum hingga kini, khususnya di Sumenep Madura.
Memuat Komentar ...