Pada Suatu Masa, Soal Kemerdekaan Berpendapat

 
Pada Suatu Masa, Soal Kemerdekaan Berpendapat

Pada suatu masa, pernah yang namanya kemerdekaan tidak selalu diiringi kebebasan berpendapat di muka umum. Apalagi jika itu menyangkut politik, apalagi menyentil pemerintah yang tengah berkuasa demi alasan stabilisasi nasional. Bisa gawat itu, dan kontrol tersebut jadinya malah melebar kemana-mana termasuk mengontrol kegiatan pengajian. Pengajian yang diadakan jamaah NU pernah diawasi dan dikontrol ketat pada masa itu, masa Orde Baru.

Untuk gelar pengajian dengan massa yang cukup besar repotnya bukan main. Sederetan panjang meja perijinan harus dilalui mulai RT, RW, Lurah, Koramil dan seterusnya kalau perlu sampai Kejaksaan. Saat gelar pengajian pasti ditunggui para petugas intel dari kepolisian yang berwenang untuk memutuskan apakah pengajian diteruskan atau dihentikan tengah jalan bahkan dibatalkan secara mendadak.

Bandingkan dengan saat ini. Suatu masa dimana mengemukakan pendapat di muka umum nyaris seperti mobil dengan rem blong. Jangan tanya soal media sosial yang para pemirsanya layaknya hantu karena ghaib dari pandangan pembicaranya, itu ibarat mobil tanpa ada rem sama sekali.

Kebebasan berpendapat setelah merdeka dari cengkraman penjajah baik pada masa Orba maupun saat ini sama-sama menyisakan catatan dan pekerjaan rumah untuk mencapai equilibrium yang ideal dalam menyatakan pendapat di muka umum antara bebas dan terkendali oleh pelakunya.

Selanjutnya, kisah di bawah ini saya kulak dari webnya Kyai Yahya Cholil Staquf, Presiden komunitas Terong Gosong, tentang bagaimana tekanan Orde Baru terhadap kebebasan mengemukakan pendapat dan bagaimana para kyai kita tak kurang akal mengakalinya.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN