Kisah Hikmah tentang Perjodohan dan Menikahi Putri Guru

 
Kisah Hikmah tentang Perjodohan dan Menikahi Putri Guru

LADUNI.ID, Jakarta - Menikah dengan putri guru merupakan keberuntungan, bahkan sebuah keistimewaan yang tak semua orang bisa mendapatkan. Selain menjadi media untuk melekatkan emosional guru dan murid, hal itu merupakan bentuk 'pengakuan paling ujung' terhadap kapabilitas intelektual sang murid. Tentulah guru menunjuk seseorang untuk menjadi suami putrinya didasarkan pada pemikiran matang, dan jika dimisalkan dengan ujian, ia melewati seleksi di level premium: seleksi yang kriterianya meliputi segala aspek yang dibutuhkan dalam pernikahan. Mereka yang beruntung adalah benar benar manusia pilihan (khiyâr min khiyâr).

Hal ini bukan cerita dongeng belaka yang tak bisa dijumpai di dunia nyata. Kisah yang menyerupai dongeng ini terjadi pada beberapa ulama, sebut saja Sa'id bin Musayyab yang menikah dengan putri gurunya, Abu Hurairah. Sa'id bin Musayyab mempunyai putri, dan dinikahkan dengan muridnya lagi, Abdullah bin Abi Wida'ah. Al-Hafidz Ibnu Katsir dengan putri gurunya, al-Hafidz Abi al-Hajjaj al-Mazziy; Ibnu Hajar al-Haitsami dengan putri gurunya, al-Hafidz al-'Iraqi; Ibnu Muflih al-Hanbali dengan putri gurunya, Jamal al-Din al-Mirdawi. Syaikh Abu al-Khair al-Midani dengan putri gurunya Syaikh Isa al-Kurdi, dan belakangan ada Syaikh Rifa'ah Thahthawi yang menikahi putri gurunya, Syaikh Hasan al-Aththar.

Di antara cerita masyhur pernikahan murid dan putri guru adalah yang terjadi pada ulama Hanafi asal Bukhara, Ala al-Dîn al-Kasani. Ulama yang kemudian menjadi penduduk Halab (Aleppo) ini, dipredikati "pemimpin para ulama" karena kepiawaiannya dalam ilmu fiqh, dan "mahaguru" madrasah Hanafiyyah di Aleppo dan Ruqqa. Dari tangannya lahir ulama ulama terkemuka, seperti Jamal al-Din al-Ghaznawi, seorang ahli fiqh Madzhab Hanafi.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN