Tentang Humanisme dalam Ajaran Nabi

 
Tentang Humanisme dalam Ajaran Nabi
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Kedamaian dan kerukunan merupakan kondisi penting dalam menjaga stabilitas suatu negara. Sebab kondisi-kondisi itu membawa dampak positif bagi perkembangan ekonomi dan sosial. Belakangan kita melihat negara-negara di kawasan Jazirah Arab banyak yang luluh lantah akibat peperangan dan perebutan kekuasaan. Keadaan tersebut berimplikasi pada rakyat sipil, di antaranya terjadi kelaparan, kemiskinan, kegelisahan, dan ketakutan yang mendera. Hal tersebut bisa diamati terjadi karena kurangnya perhatian dan pemahaman terhadap nilai-nilai humanisme.

Humanisme berasal dari bahasa Latin "humanus" dan mempunyai akar kata "homo" yang berarti manusia. Humanus berarti sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia. Humanisme diartikan sebagai paham yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia (Zainal Abidin, 2011: 41). Dengan kata lain, humanisme, berkaitan dengan saling menghargai, saling menghormati, dan saling membantu antar sesama manusia. Namun dalam rangka mewujudkan nilai-nilai humanisme itu perlu mengesampingkan ego dan hawa nafsu.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa Rasulullah SAW merupakan sosok yang humanis. Beliau menafikan dan menghindari praktik rasisme dan fasisme dalam kehidupannya. Seperti kisah, Abu Dzar r.a, seseorang berbangsa Arab dari suku Ghiffar, pernah berselisih paham dengan Bilal Al-Habasyah, budak hitam (Negro) yang dimerdekakan oleh Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, dan menjadi majikannya. Abu Dzar dan Bilal adalah dua sahabat beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Perselisihan itu berkembang sedemikian rupa hingga Abu Dzar marah sekali dan berkata kepada Bilal, “Hai anak Si Hitam!

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN