Kasus Kekerasan di Sudan Harus Jadi Pelajaran Bagi Indonesia

 
Kasus Kekerasan di Sudan Harus Jadi Pelajaran Bagi Indonesia

Oleh SUMANTO AL QURTUBY

LADUNI.ID, Jakarta - Saat ini saya sedang mendesain proyek peacebuilding di Sudan bersama sejumlah rekan, al, Leymah Roberta Gbowee (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Liberia), Monica Rijal (aktivis HAM Nepal), dan Emmanuel Ole Sayiorry (praktisi resolusi konflik Kenya). Tim ini diketuai Jan Janner, Direktur Practice Institute, USA..

Sudan merupakan negara terluas di Afrika dengan jumlah penduduk lebih dari 37 juta jiwa dan lebih dari 70% rakyatnya adalah Muslim, sisanya kepercayaan lokal (25%), dan Kristen (5%). Sudan adalah contoh negara berbasis Islam yang miskin, terbelakang, dan terus-menerus dilanda konflik dan kekerasan sejak negara ini merdeka tahun 1956.

Bukan rahasia lagi jika negara-negara di kawasan Afrika Utara mengalami penderitaan yang berkepanjangan akibat konflik, kekeringan, dan kelaparan. Akibat perang sipil yang tiada henti terutama di Sudan Selatan dan Darfur, negara ini mendapat perhatian serius dari dunia international yang concern dengan masalah resolusi konflik dan peacebuilding.

Perjanjian damai memang sudah diteken baik di Darfur (Sudan Barat) maupun Sudan Selatan akan tetapi kekerasan terus berlanjut. Di Darfur, Peace Accord diteken pada hari Jum’at, 6 Mei 2006 antara Sudan Liberation Army (SLA) pimpinan Minni Minnawi dengan pemerintah pusat Sudan (berbasis di Khartoum) di bawah mediator African Union (AU). Perjanjian damai ini sangat rapuh mengingat dua kelompok pemberontak lain, yaitu

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN