Warisan Kekuatan Cinta Gus Dur

 
Warisan Kekuatan Cinta Gus Dur
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Akhir tahun 2009 yang lalu, dalam penerbangan dari Yogyakarta ke Jakarta, sekitar pukul 18.30 WIB lebih, saya merasakan kedamaian dan ketenangan yang luar biasa. Saat itu saya tengah membaca Surat Ar-Ra’du, memohon diberikan keteguhan dan keikhlasan hati untuk menerima yang terbaik bagi Bapak. Saya tertegun dalam rasa damai yang melimpah ruah di rongga dada menyebar ke sekujur tubuh serasa mendapatkan Lailatul Qadar. Tidak ada setitikpun emosi negatif. Semacam pengalaman trance, sisi psikolog saya berkata.

Beberapa saat kemudian saya tahu bahwa bersamaan dengan hadirnya rasa damai itu, Bapak kembali pulang ke haribaan-Nya.

Jauh hari setelahnya, saya memaknai detik-detik itu sebagai anugerah-Nya bagi saya. Sebuah momen melepas dan menerima perpisahan yang manis dengan lelaki yang paling saya cintai dalam kehidupan saya, tak terbatasi oleh jarak dan ketubuhan.

Sesampai di rumah Ciganjur, saya hanya sempat menangis sebentar saja memeluk ibu dan adik-adik saya. Setelahnya hanya tekad baja untuk memberikan pelayanan terbaik terakhir sebagai seorang anak kepada ayahnya. Menyiapkan segalanya untuk menyucikan Bapak, membaringkannya di tempat tidur yang saya pilihkan khusus untuk beliau beberapa tahun sebelumnya, sebelum merapikan pakaian terakhirnya lalu diselimuti selembar kain batik Ibu. Berkoordinasi dengan paspampres, mengatur penerbangan, sampai berdebat dengan protokol negara.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN