Gus Dur: Kebaikan Santri Terlihat Bukan di Pondok, Tapi Saat Jadi Alumni

 
Gus Dur: Kebaikan Santri Terlihat Bukan di Pondok, Tapi Saat Jadi Alumni

LADUNI.ID, Jakarta - Tanpa didampingi siapa pun, Gus Dur dan aku bertemu di warung nasi depan kampusku. Pakaian batik dan sarung membungkus tubuhnya, peci yang miring serta kacamata tebalnya melengkapi kediriannya. Dialog yang bagiku aneh pun terjadi. Aneh karena perbincangan kami kesana kemari, tak jelas arahnya.

Gus Dur :

"Sebenar apa pun tingkahmu, sebaik apapun prilaku hidupmu, kebencian dari manusia itu pasti ada. Jadi jangan terlalu diambil pusing. Terus saja jalan!"

Mughni :

"Iya, Gus. Tapi.."

Gus Dur :

"Bagaimana tidak repot, hidupmu terlalu banyak 'tapi'.!"

Mughni :

"Hehehehe.."

Gus Dur :

"Apa kamu kenal Wa Totoh? Maksud saya KH. Totoh Ghozali."

Mughni :

"Disebut kenal ya tidak, tapi saya sering mendengar ceramah-ceramahnya di Radio."

Gus Dur :

"Belajarlah kamu kepadanya, bagaimana memurnikan tauhid masyarakat. Dia menggunakan bahasa lokal sebagai senjatanya, memakai humor cerdas tanpa hina dan caci."

Mughni :

"Baik, Gus, kalau itu perintah Panjenengan."

Gus Dur :

"Ini bukan perintah, ini memang sesuatu yang seharusnya kamu lakukan sebagai Da'I."

Mughni :

"Laksanakan."

Gus Dur :

"Kamu suka menulis?"

Mughni :

"Tidak, Gus, tulisan saya buruk sekali. Saya coba menulis puisi atau cerita pendek, tapi benar-benar buruk hasilnya."

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN