Terbangnya NU Sejak Muktamar Situbondo
LADUNI.ID |
Terbentuknya organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 di Surabaya, Jatim, sesungguhnya lebih kepada usaha pe-legitimasi-an dari himpunan “Ulama Fiqh” (para ulama yang berpengetahuan luas dalam yurisprudensi Islam) dan ulama tarekat (sufi) pada waktu itu. Organisasi yang dipimpin oleh Hadratussyech KH. Hasyim Asy’ari ini hakikatnya hanya berkepentingan membela pemikiran-dan praktik keislaman yang telah mengakar di Nusantara. Dalam catatan penelitian Ben Andersen pada tahun 1977, dia mengatakan bahwa NU pada masa kolonial sangat berhasil membela kepentingan “kelompok inti (inner core) mereka sendiri” dalam isu-isu keagamaan. Hal ini juga memperkuat pendapat Mitsuo Nakamura sebelumnya pada tahun 1961, yang menegaskan bahwa NU lebih tertarik pada isu-isu keagamaan ketimbang isu-isu politik.
Sebagaimana diketahui, saat itu masyarakat Islam Nusantara sangat menonjol perannya dalam gerakan sivilisasi yang dianggap mulai mengganggu keberadaan pemerintahan kolonial. NU secara signifikan sejak berdirinya, menjadi jaringan solidaritas pedesaan yang besar terdiri dari petani, para pedagang kecil, dan para pejabat keagamaan. Bahkan sayap-sayap organisasinya merambah bidang paramiliter yang belakangan menjadi cikal bakal perlawanan fisik terhadap pemerintah Belanda, dan menjadi embrio TNI.
Seiring waktu, respon masyarakat semakin positif terhadap NU, terbukti dengan berhasilnya ia merangkul para politisi yang berlatar belakang lebih beragam setelah tahun 1952. Gelombang urbanisasi penduduk kota dari latar belakang pedesaan membuat NU tidak hanya terdiri dari kaum konservatif atau yang dianggap ketinggalan zaman. Mulai pula terlahir generasi pemimpin NU dari kaum muda terdidik yang membawa arus pemikiran modern dalam tubuh organisasi ini. Sebagian mereka adalah anak-anak kiai, sedangkan yang lain berasal dari latar belakang di luar pesantren dan merasa terpanggil untuk ikut memodernisasi partai yang “ketinggalan zaman” itu (Geertz 1960: 163: 371).
Memuat Komentar ...