Hikmah Jum’at Cak Kus: Maha Cahaya

 
Hikmah Jum’at Cak Kus: Maha Cahaya

LADUNI.ID, Jakarta - Allah SWT menuturkan tentang diri-Nya sebagai sumber segala cahaya. Baik cahaya yang bersifat lahiriah seperti yang tertampung pada matahari, rembulan, bintang-gemintang dan segala macam lampu-lampu hasil kreativitas akal terampil manusia, maupun cahaya yang bersifat batiniah seperti ilmu pengetahuan, makrifat, hikmah dan petunjuk, semua itu berasal-usul dan memancar dari hadiratNya belaka, sama sekali tidak dari apapun atau siapapun yang lain.

“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah ceruk yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu berada dalam sebuah kaca. Dan kaca itu seakan bintang berkilauan yang dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkati yang tidak ada di sebelah timur dan di sebelah barat sesuatu. Minyak pohon itu memancarkan cahaya walaupun tak tersentuh oleh api. Cahaya yang melampaui segala cahaya. Allah memberikan petunjuk bagi cahayaNya terhadap siapapun yang Allah kehendaki. Allah mengungkapkan perumpamaan itu untuk manusia. Dan Allah mengetahui segala sesuatu,” (QS. An-Nur: 35).

Dalam diskursus sufisme yang rimbun dengan nilai-nilai teologis, utamanya yang disemarakkan oleh Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, yang dimaksud dengan cahaya langit tidak lain adalah cahaya ruh. Sedangkan yang dimaksud cahaya bumi dalam konteks kedirian seorang salik yang menempuh perjalanan ruhani mengacu terhadap segala kekuatan indrawi lahiriah.

Kedua model cahaya itu memancar dari hadiratNya. Secara filosofis-sufistik, hal itu bermakna bahwa segala sesuatu yang bertebaran di langit dan bumi mengalami wujud semata karena ditopang oleh tajalli wujudNya. Wujud adalah cahaya dan ketiadaan adalah kegelapan. Berarti bahwa yang mutlak ada itu adalah Allah semata. Sementara segala yang lain masuk dalam kategori mumkinul wujud, yaitu keberadaanya bergantung kepada yang lain.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN