K.H. Muhammad Ilyas, Militansi Seorang Kader

 
K.H. Muhammad Ilyas, Militansi Seorang Kader

LADUNI.ID, Jakarta - Suatu sore pada akhir tahun 1915, KH. Wahab Hasbullah, yang akrab disapa Mbah Wahab berkunjung ke Tebu Ireng hendak bertamu kepada KH. Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri NU. Di halaman rumah, beliau menjumpai seorang bocah berusia kurang lebih 4 tahun, yang sedang bermain dengan seekor angsa. “Gus mengapa suara angsa ini begitu keras?” tanya Mbah Wahab. Si bocah yang biasa dipanggil Gus Mad itu spontan menjawab, “Karena takdir Allah.”Dengan nada menggoda, Mbah Wahab berkata, “Bukan, tetapiya karena angsa ini lehernya panjang.” Bocah lugu itu tidak sepakat dan kembali menjawab, “Kalau begitu, mengapa kodok yang lehernya pendek suaranya lebih keras dan ular yang lehernya panjang justru tidak bersuara?”Mbah Wahab yang takjub dengan jawaban itupun tertawa dan menepuk pundak si bocah. “Sampeyan memang istimewa, Gus.”

Di kemudian hari, bocah itu menjelma menjadi seorang tokoh ulama besar. Tokoh yang kita bicarakan ini adalah K.H. Muhammad Ilyas. Beliau adalah anak dari pasangan KH. Qulyubi dan Mardliyyah. Ibunya, yang bernama Mardliyyah, adalah puteri K.H. Ilyas, seorang ulama kharismatik asal Sewulan, Madiun. Mardliyyah memiliki adik perempuan bernama Nafiqah yang dinikahi oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Muhammad Ilyas kecil tumbuh dalam didikan paman dan bibinya tersebut.

K.H. Muhammad Ilyas dilahirkan pada 23 Nopember 1911 di desa Krucil, Kecamatan Kraksaan Probolinggo, saat ayahnya bertugas di sana sebagai seorang Penghulu Hakim Raad (semacam pengadilan agama pada zaman Belanda). Status sebagai anak pejabat memungkinkan Muhammad Ilyas untuk sekolah di HIS (Hollands Indische School) di Bubutan Surabaya, seangkatan dengan Ruslan Abdul Ghani (tokoh PNI) dan Dul Arwana (Wali Kota Surabaya pertama pasca kemerdekaan).

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN