Al-Sari, Kiai Basyir, dan Tirakat Mendisiplinkan Jiwa

 
Al-Sari, Kiai Basyir, dan Tirakat Mendisiplinkan Jiwa

LADUNI.ID, Jakarta - Ada satu penggalan kisah yang menarik tentang al-Sari al-Saqathi (w. 867), sufi besar dari Baghdad, yang dikisahkan dalam kitab-kitab tasawuf klasik seperti Ihya’ Ulumiddin atau Risalah Qusyayriyyah. Diceritakan bahwa paman Junayd al-Baghdadi tersebut pernah berkata: “Selama empat puluh tahun, nafsuku memintaku untuk mencelupkan roti ke dalam sirup gula tapi aku tidak menurutinya.”

Kutipan al-Sari, murid sufi besar al-Karkhi, di atas disebutkan al-Ghazali dalam kitab Ihya’ juz ketiga dalam bab Riyadlatunnafs (Olah Jiwa). Kutipan ini muncul saat al-Ghazali mendiskusikan masalah bernikmat-nikmat dalam hal yang diperbolehkan (al-tana‘‘um bi al-mubah). Al-Ghazali menjelaskan bahwa menikmati hal yang diperbolehkan haruslah tetap diwaspadai karena itu bisa menjadi penyebab menjauhnya kita dari Allah.

Apa yang diutarakan oleh al-Sari ini tidak lain adalah contoh mujahadah (memerangi nafsu/diri, berusaha keras) sekaligus riyadlah (olah batin, pendisiplinan) yang dalam Ihya’ disebut sebagai salah satu upaya untuk memperoleh akhlak yang baik. Kisah ini menggambarkan usaha keras al-Sari untuk menampik bisikan nafsunya untuk menikmati kelezatan makanan tertentu yang sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang dilarang. Namun demikian, hal semacam ini bagi kaum sufi adalah langkah penting untuk menjinakkan nafsu—yang jika sudah mulai menguasai diri bisa dengan seketika membalikkan keadaan batin seseorang sehingga dapat menjerumuskannya ke jurang kehinaan.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN