Salah Pilih Guru, Hijrah Jadi Cerita Pilu
LADUNI.ID, Jakarta - Istilah “hijrah” digunakan untuk menunjukkan fenomena banyaknya kelas menengah atas dan figur publik (artis, bankir, jenderal, pejabat, selebritis) yang meninggalkan profesi lamanya menuju kehidupan baru sebagai muslim yang shalih.
Orang-orang awam kemudian mengikutinya. Mereka membuat komunitas-komunitas hijrah sebagai wadah silaturahmi, saling menguat diri dan belajar ilmu-ilmu islami.
Pada dasarnya, kelas menengah atas dan figur publik adalah orang-orang yang tingkat intelektualnya tinggi. Mereka rasional, pragmatis, terbiasa mengakses informasi dan bersifat terbuka sehingga mereka sulit didoktrin. Akibatnya mereka butuh saluran aktualisasi diri, wahana eksistensi dan pengakuan.
Kebutuhan psikologis ini yang dibidik kelompok radikal untuk merekrut mereka. Mereka perlu tampil beda dengan cara melawan arus. Kelompok radikal dan kelas menengah bertemu pada isu-isu yang melawan pemerintah dan NU tapi dengan latar belakang psikologis yang berbeda.
Di tengah pencariannya, dengan ghirah yang tinggi, mereka berselancar di dunia maya. Ikut kajian-kajian online. Membaca artikel-artikel di Facebook. Menyimak postingan-postingan di grup-grup Whatsapp. Lalu ikut-ikut kopdar yang diadakan atau janjian ketemu dengan pengasuh grup. Akhirnya ada yang terjebak ke kelompok radikal seperti HTI dan ISIS.
Kalau sudah masuk kandang kelompok radikal, pertanda “hijrah” akan berakhir dengan memilukan. Sebab kelompok “hijrah” akan diantar menuju sikap amarah murka, benci dan bermusuhan dengan siapapun yang berbeda. Mereka akan diantar menuju “dakwah”. “syariah” dan “khilafah” bukan diantar menuju Allah swt, yang sebenarnya cita-cita mereka ketika memutuskan untuk “hijrah”.
Memuat Komentar ...