Kenapa 'Jualan Agama' Laku?

 
Kenapa 'Jualan Agama' Laku?

LADUNI.ID, Jakarta - Sejujurnya saya tidak senang dengan istilah "jualan agama". Selain terkesan merendahkan agama itu sendiri, akar masalahnya tidak sesederhana yang dikira. Perkaranya bukan sekadar "kebodohan" seperti sering dikatakan orang-orang, tetapi lebih dari itu.

Bagi saya, agama adalah identitas, dan, ini perkaranya, manusia membutuhkan itu. Hampir pasti bisa dikatakan, manusia tidak bisa hidup tanpa identitas. Manusia tidak bisa hanya menjadi "manusia saja". Mereka ingin terikat dengan ciri atau penanda tertentu entah agama, bangsa, etnis, bahasa, kedaerahan, almamater, hingga grup WA.

Celakanya, identitas pada awalnya diremehkan oleh kemoderenan. Manusia modern sangat percaya mereka bisa menjadi "diri sendiri". Seolah-olah tidak ada apa-apa di luar diri. Dengan menjadi diri sendiri itu, "carpe diem!" (raihlah harimu) kata Robin Williams dalam film Dead Poet Society.

Di antara identitas yang paling diremehkan oleh kemoderenan adalah agama. Bersama harta dan seksualitas, agama dibungkus dalam sebuah konsep bernama "privasi". Artinya, silakan saja kalian tetap beragama, tetapi ekspresinya jangan diperlihatkan ke muka publik. Lakukanlah semuanya di rumah, kalau bisa diam-diam dan sendirian.

Namun sekarang terasa semakin jelas bahwa menjadi diri sendiri tidaklah cukup. Manusia membutuhkan keterikatan, termasuk dengan apa yang oleh kemoderenan disebut privasi. Dengan kata lain, manusia memang pada dasarnya ingin pamer--hartanya, kemolekan tubuhnya, atau ekspresi keagamaannya. Manusia memerlukan "pengakuan" dari orang lain terhadap ketiga hal yang tadinya minta disembunyikan itu.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN