Jadi Umat Islam Harus Rukun, Meski Rumahnya (organisasinya) Berbeda-Beda
KH. Sya’roni Ahmadi: Penjaga Moral Kota Kretek
Oleh: Kyai Ulin Nuha
Ribuan orang berbondong-bondong menuju gedung itu. Setelah menyelesaikan jama’ah shalat Maghrib, seakan tak mau ketinggalan, dengan berbekal sebuah buku catatan kecil aku bergegas mempercepat langkah. Karena luas gedung yang terbatas maka jama’ah pun mengular di jalanan. Aku berjejal-jejal mencari posisi agak depan. Sejenak kemudian kami para jama’ah berdiri memberi sambutan seraya melantunkan bait-bait “thola’al badru”. Seremonial itu berhenti ketika seseorang memasuki ruangan dan duduk paling depan menghadap kami.
Penuh wibawa beliau mengucap salam. Dengan sorot wajah yang teduh kemudian mengumandangkan tilawah beberapa ayat Al-Qur’an. Ujud dan umur yang telah renta menjadikan nafasnya tak kuat lagi melengkingkan suara panjang. Tapi tak mengurangi kefasihan dan kekhidmatan kami yang mendengarkan. Tilawah kini usai. Dilanjutkan pembacaan doa yang kuketahui di kemudian hari adalah “hizbun nashr”. Kami membaca bersama-sama dengan dipimpin oleh beliau. Pembacaan selesai dan dilanjutkan dengan pengajian inti.
Kali ini pengajian tafsir menginjak awal surat An-Nur. Sang Kiai menguraikan penjelasan beberapa ayat dengan gamblang nan jelas. Sesekali humor jenaka serat makna disisipkan, menghadirkan gelak tawa para jama’ah tak terkira. Retorika balaghah dan mantiq yang terukur menambah kemantaban para jama’ah. Kala jarum jam menunjuk angka delapan malam, pengajian diakhiri dengan konsultasi agama bagi para jama’ah yang memiliki permasalahan.
Memuat Komentar ...